16. Menghindar

27.8K 4K 165
                                    

***

Aku berbaring menatap langit-langit kamar ku dengan tatapan kosong. Perkataan Danendra hari ini selalu terngiang di kepala ku. Membuat ku gelisah sepanjang malam.

"Saya siap menjadi pria yang 'pas' untuk membantu kamu menyembuhkan Gamophobia kamu"

Perlu waktu beberapa menit untuk aku mencerna ucapannya sewaktu dipantry. Saat setelah ia mengatakan ucapan itu,aku hanya mampu terdiam kaku. Langsung saja cepat-cepat aku berdiri pergi dengan dalih pekerjaan. Pengecut? Tidak. Aku hanya terlalu shock.
Kala itu Danendra hanya tersenyum kepada ku dan setelahnya mengusap puncak kepalaku lembut.

"Pak- Saya- Kerjaan saya masih banyak. Mas Rio pasti nyariin." ucapan terbata itu sukses membuat ku merutuki diri bodoh. Kegugupan ku akan terlihat jelas di mata nya.

Kulihat ia tersenyum kearah ku. Ia berdiri kemudian mengulurkan tangannya keatas kepala ku, mengacak rambut ku.

"Pikirkan lagi."

Waktu terasa berhenti. Kakiku merasa seperti jelly saat akan melangkah. Sebenarnya pria seperti apa Danendra itu? Mengapa aku jadi penasaran saat ini padanya?

Aku menutup wajahku dengan bantal kemudian berguling-guling dikasur sempit ku ini gelisah. Seketika bayangan pria itu terus berputar di kepala ku.

Bunyi ponsel menghentikan pergerakan abstrak ku. Ku angkat bantal yang menutupi wajah ku kemudian mencari asal suara singkat itu.
Sebuah pesan what's app dari nomor baru yang belum tersimpan dikontak telpon ku.

'Saya serius dengan perkataan saya waktu di pantry tadi'

Tak perlu mencari tahu. Aku tahu arah pembicaraan ini.
Kulihat profil what's app nya hanya bergambar hitam, bukan foto asli.

Balas? Jangan?

Nisa : Ini Pak Danendra?

Danendra : Bukan. Ini calon imam idaman kamu, yang insyaallah mampu membimbing kamu ke Jannah kalau kamu terima tawaran saya.

Jawaban macam apa itu? Kenapa wajahku panas? Pria ini benar-benar!

Aku memilih meletakkan lagi ponsel ku dibawah bantal kemudian menutup mataku erat. Ini tidak baik jika diteruskan.

***

Aku berjalan mengendap-endap setelah turun dari lift, mengintip kearah lift direksi. Dan saat dirasa aman, aku berlari secepat mungkin kearah ruangan akunting.

Aku duduk dikubikel ku seraya mengatur nafas yang tersengal. Aku juga tak tau mengapa aku jadi bertingkah seperti pengecut. Rasanya belum siap saja bertemu pria itu.

"Lo ngapain sih tadi? Kok kayak buru-buru banget"

Reno duduk dikubikel nya seraya mengeluarkan barang-barang dari dalam tas nya tanpa menatap ku.

"Ga kok, gue ngejar deadline dari Mas Rio kemarin"

"Oh"

Sampai jam makan siang tiba aku jadi malas untuk beranjak. padahal perut ku sudah berteriak lapar minta diisi. Jika tidak dipergunakan dengan baik maka waktu istirahat ini akan habis terbuang.

"Nis ga kantin?"

"Iya Mbak, bentar ya"

"Yaudah, Mbak tungguin ayo"

Setelah menyimpan file yang tadi kukerjakan, aku buru-buru berdiri menghampiri Mbak Tari yang sudah menunggu ku didepan pintu ruang akunting.

"Ayo Mbak, buruan"

"Masih ada empat puluh lima menit lagi jam istirahat Nis, buru-buru banget"

" Laper Mbak" aku tertawa garing kearah Mbak Tari yang menggelengkan kepalanya seraya menatap ku.

Aku menghembuskan napas ku lega saat sampai dikantin tanpa hambatan. Sebenarnya apa yang sedang kulakukan? Aku bertingkah bak pengecut demi menghindari Danendra. Tapi faktanya memang aku belum siap untuk bertemu lagi sekarang. Aku sadar tak dapat menghindar karena aku dan dia bekerja dikantor dan lantai yang sama. Besar kemungkinan pertemuan tak dapat terelakkan.

Tapi setidaknya disini aku dapat makan dengan tenang dahulu tanpa susah-susah memikirkan bagaimana bersikap saat aku bertemu dengan Danendra nanti.

"Nis, soto nya ga enak?"

"Oh enggak Mbak lagi doa makanya diem"

"Kamu doa apa mengheningkan cipta? Lama banget"

"Hehe, Mbak mah gitu"

Kami memakan makan siang kami dengan hikmat, sesekali diselingi obrolan santai yang ringan diluar topik pekerjaan.

***

"Nis, pulang bareng gue ga?"

Kulihat Reno yang tengah mengemasi barang-barang nya menatap ku sekilas

"Enggak No, duluan aja. Tanggung"

"Gapapa gue tungguin"

"Gausah duluan aja"

"Oke deh, gue duluan"

Setelah meregangkan otot-otot tangan ku yang terasa kebas, Aku melirik jam dinding yang ada diatas pintu ruang kerja Mas Rio. pukul enam belas tiga puluh selesai sudah pekerjaan ku.

Bergegas aku berdiri memasukkan barang-barang kedalam sling bag hitam milik ku. Berjalan kearah pintu keluar setelah sebelumnya melihat terlebih dahulu keadaan diluar ruangan melalui dinding kaca bening tujuh puluh persen pembatas ruangan ini.

Spontan saja nafas ku berhembus lega kala menyadari lorong menuju lift kosong tak ada tanda-tanda orang lewat.

"Menghindar?"

Aku tersentak kaget kala mendengar suara itu. Suara berat nan dingin yang sangat kuhindari seharian ini. Entah dari mana munculnya.

"Bapak Ngaggetin saya aja"

"Tingkah kamu lucu hari ini. sebegitu belum siap di mintain jawaban?" Nada suara itu terdengar menyindir dan tepat pada ku yang merasa tersindir.

"Maksud Bapak?" aku berlagak pura-pura bodoh akan ucapannya yang baru saja menyindir perilaku aneh ku hari ini.

"Lupakan. Ayo pulang saya antar"

"Tapi udah pesan Gojek Pak"

"Biar nanti saya yang bayar kalau dia sudah didepan, kamu pulangnya sama saya."

"Bapak maksa?"

"Tidak. Ini perintah"

"Tapi terserah saya dong kalau mau nolak tawaran Bapak"

"Jadi kamu nolak saya?"

"Bukan gitu! Ga gitu. Maksud saya, saya nolak tawaran pulang bareng. Bukannya nolak tawaran-"

Spontan aku langsung menghentikan ucapan ku. Apa lagi yang telah mulut lancang ini katakan? Ini kegilaan yang benar-benar bodoh! Aku malu!

Kulihat ia mengangkat sebelah alisnya dengan senyum yang sangat menyebalkan di mataku. Sangat menganggu pandangan!

"Tidak usah diteruskan, saya sudah tahu jawabannya. Yasudah, hati-hati dijalan. Saya sepakat dengan permintaan kamu tadi. Hanya- Menolak- Tawaran- Pulang, 'kan?"

Usapan lembut itu kembali terasa dipuncak kepala ku. Danendra tersenyum diakhir kalimat nya. Senyum yang jarang sekali pria itu perlihatkan. Bukan senyum menyebalkan seperti tadi.
Tapi Kali ini terlihat menawan saat menatapnya tersenyum pertama kali seperti itu.

"Salah bicara" lirih ku saat ia sudah berlalu meninggalkan ku tepat saat pintu lift sudah terbuka dan membawa kami turun ke loby kantor.

***

Tinggalin vote sama komen ^^

Visa Ranico

Prabumulih, Sumatera Selatan

MARRIAGEPHOBIA  (DICTATOR BOSS 1st VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang