Meta duduk di kursi pesawatnya sambil memandangi pemandangan dari jendela yang cuma separuh karena pengaturan posisi kursi yang tidak sesuai jendela. Pesawat baru saja terbang stabil setelah beberapa kali terasa ngeden, naik berkilo-kilo meter. Di sebelahnya terdapat pasangan suami istri yang membawa bayi, yang untung saja tidak berisik. Bukan Fiki. Sekali lagi, bukan asisten satu-satunya itu. Ya Tuhan, dia rindu sekali pada Fiki bahkan ia baru berpisah beberapa menit lalu di drop zone bandara.
Mata Meta terpejam teringat hari Minggu lalu setelah survey lokasi pemotretan, ia baru menyempatkan diri untuk berbicara dengan Fiki mengenai permintaan—yang lebih mirip paksaan—Rafka. Awalnya Fiki tidak terima, tapi karena terkendala deadline yang harus mereka kejar minggu ini, Fiki terpaksa harus tinggal di studio. Kemarin setelah mengonfirmasi tanggal keberangkatan, Rafka langsung membalasnya dengan kode booking pesawat ke Jogja tanpa banyak omong. Padahal Meta kira, ia harus pergi mengklaim sendiri biaya tiketnya.
Gale yang dipamitinya melalui telepon juga hanya bisa mencak-mencak. Kalau ada jasa cekik online, ia yakin tanpa ragu akan mencekik Meta. Ada masalah sekrusial ini saja, Meta berani menyembunyikan hal itu darinya. Masalah Meta berarti masalah Imagen Studio, dan masalah Imagen Studio berarti masalahnya juga. Sudah masuk hitungan tahun mereka sama-sama membangun studio, menjadi partner kerja, tidak seharusnya Meta membuat Gale merasa dikhianati dan tidak berharga. Telepon hari itu ditutup dengan ultimatum Gale kepadanya. "Kalo ada apa-apa, jangan telat telepon gue. Telat aja nggak boleh, apalagi sampe lupa. Inget itu, Nyet!"
Desahan lelah Meta terlalu banyak mendominasi daripada obrolan basa-basi dengan penumpang di sampingnya. Sudah lebih dari satu jam Meta melayang-layang di udara. Masih juga ia berusaha menelan bulat-bulat perasaan tidak enak yang masih betah bercokol di dalam hatinya seiring dengan pengumuman bahwa pesawat sebentar lagi akan mendarat. Ia bertekad akan segera menyelesaikan pengambilan gambar dan segera kembali, tak ingin berlama-lama. Dalam hati ia berdoa agar ia tidak akan bertemu dengan Rafka. Bukankah saat-saat menjelang pembukaan seperti ini, Rafka pasti akan sangat sibuk? Hal itu mungkin saja terjadi.
Ketika turun, hiruk pikuk bandara Adi Sucipto yang sempit dan ramai langsung menyergapnya. Meta mengedarkan pandangan sambil sesekali melihat ponselnya. Rafka tak mengiriminya alamat walaupun Meta sudah tiga kali mengirim chat. Namun, dari tempatnya berdiri, tiba-tiba Meta melihat seseorang pria yang mengenakan dasi dan kemeja yang sedikit kusut mengacungkan iPad dengan layar bertuliskan namanya. Ia hampir berteriak dan sujud syukur ketika mengetahui bahwa pria itu bukan Rafka.
"Meta Mariska?" tanya sang pria paruh baya ketika Meta mendekat. Ia menjawabnya dengan anggukan ramah, kemudian pria itu melanjutkan sambil mengulurkan tangan. "Rafka sedang sibuk, jadi dia nggak bisa jemput. Saya Kamal, asisten keluarga Pramoedya."
Meta bersorak-sorak dalam hati, kemudian berdeham, takut sorak-sorainya itu terlepas dari bibirnya. "Saya Meta." Ia membalas jabat tangan Pak Kamal yang terasa lebih bersahabat. Tak ada aura mencekam seperti bosnya.
Pak Kamal terkekeh. "Saya tahu. Maaf saya nggak pakai jas, Jogja lagi panas-panasnya."
"Nggak papa, Pak." Apalah arti pakai jas di bandara yang penuh sesak ini.
Pak Kamal melarikan matanya pada tas yang dibawa Meta. "Barangnya masih harus nunggu bagasi?"
"Oh, nggak. Saya cuma bawa ini aja," ujar Meta sambil menunjuk ransel besar merah-kuning yang sekarang ia bawa. Kelihatannya saja tidak terlalu besar, padahal berat karena isinya sudah muat baju ganti, laptop, dan kamera beserta lensa cadangannya.
Pak Kamal menaikkan sebelah alisnya memandangi tas itu, kemudian mengangguk abai. Ia menggiring Meta menuju pelataran parkir. "Biasanya perempuan bawaannya banyak, saya kok aneh lihat kamu bawa barang segitu," ujarnya sambil terus berjalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pandora Boss
RomanceMenjadi model pengganti sebuah pemotretan majalah dadakan membuat identitas Rafka sebagai cucu pemilik hotel terungkap. Dia menuntut ganti rugi pada sang partner model dan fotografer untuk mempromosikan hotel milik kakeknya, tetapi ternyata bukan ha...
Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir