- Jangan bertanya padaku seperti apa rasanya, karena aku sungguh tak tau apapun -
June 2017
Semilir angin bertiup pelan menerpa wajah serta rambut yang kubiarkan tergerai. Tepat saat langkahku sampai di area yang cukup terbuka. Kakiku menapaki jalanan berbatu dalam diam, ditemani bersama debu yang pasrah dimainkan oleh sang angin.Langkahku terhenti, kutegakkan kepala lalu menoleh dan kudapati pemandangan sawah yang membentang tak terlalu luas. Sedari tadi aku berjalan melewati area rumah dan pekarangan pinggir jalan yang di tumbuhi pohon-pohon. Dan saat ku sampai di area ini rasa berbeda menyergapku.
Ah.... Rasanya seperti di area padang rumput yang luas.
Kuhadapkan badanku agar seluruhnya menghadap ke arah sawah itu. Dan angin semakin gencar menerpa tubuhku. Tapi itu justru membuat kedua kelopak mataku tertutup perlahan. Menikmati semilir angin yang mungkin tak bisa kurasakan nanti.
Beberapa detik kemudian, mataku terbuka. Iris cokelat bening milikku menyusuri hijaunya dedaunan padi yang meliuk-liuk tertiup angin, daun panjang itu menari seolah memamerkan keindahan mereka, layaknya permadani hijau nan halus.
"Hahh.... "
Desahan nafas itu keluar begitu saja tanpa ku sadari. Tiba-tiba saja, sesuatu menyembul dalam pikiranku. Menguar dan memenuhi memori yang ada di otakku. Berputar dan bermain-main di kepalaku. Seolah mengejekku yang kini tersenyum miris.
Apa ruang lingkungan ini mengecil? Ataukah asupan oksigen mulai berkurang di udara? Entah mengapa, dadaku terasa sedikit sesak. Dan mataku mulai memanas perlahan.
Suara tawa memenuhi rongga kepalaku, tak hanya itu tapi suara lain layaknya percakapan pun terdengar bersahutan. Padahal ku tau pasti aku di sini sendirian. Dan, satu-satunya hal logis adalah ingatanku mulai mempermainkanku.
Kepalaku menunduk, membiarkan semua keluar dan berputar hingga puas. Seolah aku sudah tak mampu tuk menghentikannya lagi.
"Apa kau kemarin menangis? Kulihat matamu berkaca-kaca, benarkah? "
"Yah, tidak menangis juga. Hanya.... "
"Hanya? Hanya apa? Ah.... Jangan-jangan kau tak rela pergi ya dari sini?"
"Mmm...." Dia menggeleng pelan.
"Hey itu hanya candaan. Lantas?"
"Entahlah.... Rasanya memang sedikit seperti itu." Dan pandangannya menatap jauh ke depan.
"Kalau begitu kau memang benar tak rela bukan?" Ujarku sembari menoleh ke arahnya.
"Mungkin. "
"Yayaya... Lagipula kau bisa berkunjung kemari lagi, kami di sini takkan mengusirmu. Mungkin saja anak-anak di sini akan merindukanmu." Lantas senyuman lebar itu terbentuk di bibirnya.
Sebuah senyuman tipis kubentuk tuk menghibur hatiku. Dan ku coba untuk kembali mendongak.
"Kau tau, di sini masih sama. Tapi sayangnya, di sana aku tak tau," ucapku lirih.
"Apa sudah lama? Kurasa memang begitu. Dan kuharap semua baik-baik saja. Sekalipun di sana telah berubah jauh," lanjutku.
Masih berdiri di tempat yang sama, rasanya tak berubah meski senyuman telah terpatri di wajahku. Jika saja aku bisa tau, maka akupun takkan segelisah ini memikirkan apa yang tengah terjadi padaku. Tapi sekeras apapun aku berpikir, tetap saja aku tak tau apa yang tengah ku alami.
Segencar apapun bila ada orang yang memakiku bodoh, maka akupun tetap sama. Ya, mungkin aku memang bodoh karena aku tak tau apapun. Katakanlah apa yang ingin kalian katakan padaku. Karena percuma saja, itu tak mengefek besar. Semuanya, bagiku semua buram.
Rasanya seperti kembali lagi, tapi.... Sudahlah. Itu percuma. Yang ku tau aku hanya terus merasa sedih tanpa tau apa yang harus kulakukan ataupun penyebab dari aku merasakan itu.
"Haha.... Kau memang ditakdirkan seperti ini mungkin," ucapku sendiri sambil mengetuk kepalaku pelan.
Tungkaiku mulai melangkah kembali. Berjalan meninggalkan tempat ini, mengikuti jalan berbatu yang siap mengantarkanku pulang. Di detik-detik berikutnya, rasanya beku. Semua seperti terselimuti es walau ku tau matahari masih bersinar di atas sana.
Kenapa semua terasa rumit untukku?
- Jika saja lilin yang menyala di tengah kegelapan diibaratkan sebagai sebuah harapan mati tertiup angin, akankah ada yang berbaik hati menciptakan api kecil di sumbu lilin itu? -
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
RomanceSaat kau berpikir untuk bertahan, kaulah yang tersakiti. Tapi jika kau memilih pergi, kau takut orang lain yang akan tersakiti. Lantas, apa alasanmu menjalani ini?