Seoul, October 2016
"Yah, Jong Eun-ah,"
Meletakkan buku yang tengah di tatanya, laki-laki itu menoleh ke arahku. Sementara aku fokus membersihkan rak, laki-laki yang dari setengah jam lalu kumintai membantu menatapku perhatian, menunggu untukku bicara. Sembari menggerakkan kain lap sekali lagi aku menghela nafas, berusaha mengenyahkan pikiran yang menggangguku sedari tadi.
"Menurutmu, seperti apa 'oppa baik'?" Tanyaku sembari mengambil dua buah buku untuk kubersihkan.
"Oppa baik?" Gumamnya.
Aku mengangguk, masih tanpa menoleh dari debu-debu yang menempel di rak bagian sudut ruangan.
"Ne, oppa baik. Begini, jika kau menjadi seorang anak kecil lalu seseorang yang tak kau ketahui berperilaku baik kepadamu dan memberimu mainan. Apa pandanganmu terhadap orang itu? Sebagai anak kecil maksudku," jelasku, sedikit meliriknya.
"Jadi kau tengah membicarakan anak-anak di taman kanak-kanak?"
Mengangguk lagi, tebakannya memang tepat. Kuakui analisisnya cukup baik meski aku tak mengatakan keseluruhan maksudnya.
"Menurutku? Mungkin aku akan berpikir dia sosok yang benar-benar baik hingga mau memberikanku mainan meski aku tak mengenalnya. Hanya saja, jika aku mengikuti arah pandangku sebagai orang dewasa kupikir masih adakah orang sebaik itu? Terlebih membawakan mainan untuk anak kelasmu?"
Pernyataan itu membuatku terhenyak. Apa yang ia pikirkan memang tepat pada perkiraanku sebelumnya. Tidak, aku tak berniat untuk berprasangka buruk pada 'Oppa Baik' yang mereka banggakan, hanya saja di waktu seperti ini apakah masih ada orang setulus itu? Dengan kesan misterius kentara dari laki-laki itu. Maka bukan hal besar jika akupun sedikit mencurigai taktiknya. Dan aku akan sangat menyesal bila kuketahui dia benar bukan orang baik-baik. Kupikir aku tak pantas menjadi guru untuk anak kelasku lagi.
"Tapi Yo Joo-ya,"
Ucapan menggantung Jong Eun kini menarik sepenuhnya atensiku. Kuletakkan kembali 2 buku yang telah ku lap sebelum menoleh ke arahnya. Memintanya untuk melanjutkan perkataannya.
"Seperti apa 'oppa baik' menurut mereka?"
Mengerutkan alis, sedikit kuingat kembali bagaimana antusiasme Ra Eun kala mengenalkanku siapa pembuat origami itu. Ah ya, origami itu. Kuakui origami itu terlalu bagus bila dijadikan taktik semata, jadi apakah sekarang aku ragu?
"Aku hanya menyimpulkan jika mereka sangat menyukainya, kupikir mereka takkan memberikan julukan itu secara cuma-cuma. Melihat bagaimana antusiasnya mereka saat bermain dan tertawa di halaman belakang, kukira dia memang benar-benar berperilaku baik pada anak-anak. Dan, mereka sangat menyukai origami yang dibuatkan laki-laki itu. Mereka juga dengan bahagia menunjukkannya padaku, seolah itu benda terbaik yang mereka dapat. Oh, apa aku terlalu berlebihan?"
Dengan panik segera kuhentikan penjelasanku, yang entah kenapa mengalir begitu saja. Jong Eun justru terkekeh melihatku. Ia kembali mengambil buku dari dus di dekat kakinya dan meletakkan buku itu di rak dengan teratur.
"Lihat itu, kau pun kagum dengannya,"
Di luar ekspetasi pipiku memanas setelahnya, itu sama sekali tak sesuai dengan pikiranku atau apa yang dilihat orang dari pipi gadis yang memanas akibat membicarakan 'laki-laki'. Jangan salah paham, aku hanya sedikit malu dengan diriku dan Jong Eun, aku mencurigainya tetapi kagum di saat yang sama? Tanpa berusaha mengelak aku kembali mengelap rak setelah sempat terdiam tadi. Kupikir ini lebih baik daripada melawan langsung Jong Eun dengan perkataanku, aku tak ingin nada gugup tiba-tiba keluar dari tenggorokanku lantas membuat Jong Eun tertawa. Percayalah, ditertawakan oleh laki-laki seperti dia sangat memalukan rasanya.
"Yah kupikir origami itu buatanmu atau guru lain sebelumnya. Jika kuingat-ingat ini ketiga kalinya dia menunjukkan burung origami padaku. Jadi, kau melihatnya pagi tadi?"
Aku mengangguk dengan kuat,
"Sayangnya aku hanya melihat figur orang itu dari belakang. Kupikir dia orang yang cukup misterius Jong Eun-ah, terlihat dari cara berpakaiannya," ujarku
Jong Eun mengacungkan sebuah buku bersampul abu-abu dan hitam yang baru saja ia ambil dari dus ke depan wajahku, membuat keningku berkerut tak mengerti. Setelahnya, ia tersenyum melihat reaksiku.
"Jangan melihat buku dari covernya Yo Joo-ya, cover boleh saja monochrome atau campuran hal lain yang tak menarik, tapi liriklah isinya pula," tukasnya sembari menyentil dahiku.
Mengusap dahiku yang terasa sedikit sakit, aku tertawa dengan tingkahnya itu. Inilah sisi yang kusukai dari partner ku itu, sosok teman dan juga oppa yang hangat melekat pada diri Jong Eun. Membahas sesuatu takkan membuatku bosan jika dengannya, dan ia akan meluruskan sesuatu dariku jika dirasanya ada yang tak tepat, menggunakan cara versinya tentunya. Kupikir Ra Eun pantas sangat bangga pada oppanya ini.
"Kuharap begitu Jong Eun-ah. Jujur saja aku justru ingin bertemu dengannya."
"Huh, untuk apa?"
Mendengus terkejut laki-laki itu menatapku heran. Dan aku justru memamerkan senyuman kecil pada Jong Eun,
"Hanya ingin bertemu, mengucapkan terimakasih atas kebaikannya dan mengembalikan kertas origami miliknya," jawabku tenang.
Jong Eun tertawa mendengar jawabanku, membuatku merasa tak terima ditertawakan seperti itu. Lagipula apa yang salah?
"Ya! Apa yang lucu heh?!" Seruku.
"Hei hei, aku sempat berpikir jika kau tertarik padanya Yo Joo-ya," jawab Jong Eun dan kembali tertawa keras, bahkan ia sampai memegangi perutnya. Seolah apa yang dipikirkannya begitu lucu.
Kali ini pipiku terasa benar-benar panas, membuat syaraf pipiku terasa pegal dan kaku. Reflek, aku melemparkan kain lap di tanganku ke arah wajah Jong Eun. Sayangnya ia dengan mudah menangkap kain lap itu.
"Ya! Jong Eun-ah itu tidak lucuuuuuuu!" Seruku sembari memukulinya.
Membiarkan dia tertawa sembari tersiksa oleh serangan mendadak dariku. Tapi dengan laknatnya dia justru semakin keras tertawa.
-
Annyeong Reason back!
Pendek? Hehe, segitu aja dulu. Dan sebentar lagi flashback chapter selesai yeay(≧▽≦). Enjoy it,
KAMU SEDANG MEMBACA
Reason
RomanceSaat kau berpikir untuk bertahan, kaulah yang tersakiti. Tapi jika kau memilih pergi, kau takut orang lain yang akan tersakiti. Lantas, apa alasanmu menjalani ini?