jangan lupa meninggalkan jejak!
***
"Baikan?" William menyandarkan dirinya pada sofa berwarna cokelat gelap, berusaha merilekskan tubuhnya yang sedaritadi menopang tubuh Margo. Wanita itu menangis cukup lama, hingga membuat kemeja yang William pakai basah oleh air mata.
"Terima kasih." Margo menjawab malu, tentu karena dia menunjukan sisi lemahnya pada seseorang yang bahkan baru pertama kali ia temui. "Tapi ... bisakah aku meminta sesuatu?"
"Apa?" jawab William seraya menaikkan sebelah alisnya.
Margo menarik napas berat, "Kumohon ... jangan beritahu Daniel kalau aku menangis karenanya. Aku hanya tak ingin dia tahu. Hm, maksudku aku--"
"Kau tidak ingin membuatnya merasa tak enak?" terka William yang tepat sasaran. Lelaki bermata abu itu memperhatikan mimik wajah Margo dengan seksama, sebelum tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. "Aku benar ... bukan?"
Margo diam. Tak bisa membantah, ataupun memberi perlawanan. Perkataan William benar. Dia tak ingin Daniel merasa tak enak padanya. Dia ingin lelaki itu merasa nyaman, karena dengan adanya rasa nyaman, terkadang seseorang bisa lupa kalau mereka tidak memiliki status apa-apa.
"Boleh aku tanya?" William membenarkan posisi duduknya, kali ini menghadap ke arah Margo. "Kalau aku boleh tahu ... apa alasanmu ingin membuatnya nyaman?"
"Karena aku mencintainya." Margo menjawab langsung tanpa ragu. Pertanyaan William sungguh aneh sekaligus jelas. Meskipun agak bingung, Margo masih menjawabnya sebagai bentuk kesopanan. "Bukankah hal itu sudah jelas?"
"Oh begitu ...." William bergumam singkat, "Jadi kau sudah mencintainya ya?"
"Apa?" tanya Margo ulang karena suara William sangat kecil, bahkan nyaris mirip dengan desisan.
"Lupakanlah." William mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding. "Kau punya waktu?"
Margo memiringkan kepalanya bingung, "Aku tidak sibuk. Kenapa?"
William berdiri dari tempatnya, kemudian mengulurkan tangan ke arah Margo. Lagi-lagi, wanita dengan netra hazel itu mengernyit bingung.
"Kau mau apa? Mengajakku pergi?" tanya Margo.
William tak menjawab, tapi menurut Margo lelaki itu menjawab iya.
"Ke mana?"
William lagi-lagi tak menjawab, tapi kali ini lelaki itu berjalan mendekat dan menggengam tangan Margo erat. Refleks, Margo melepaskan tangannya agak kasar, terkejut dengan perlakuan William.
"Jangan macam-macam, aku ini pasangan temanmu." Margo menatap William dengan pandangan aneh. "Meskipun tadi aku menangis di pundakmu tapi ... kau tahu aku sedang mengandung anak Niel bukan?"
"Terus?" Wajah William sangat serius ketika melontarkan satu kata itu, seolah dia benar-benar bertanya, terus kenapa kalau kau sudah punya pasangan? Hell!
"Maksudku ... jangan sembarangan menyentuh atau menggengam tangan orang. Kita bahkan baru bertemu tadi. Dan kau juga tahu, aku ... memiliki hubungan yang rumit dengan Daniel."
"Hubungan yang rumit?" William mengulangi. Kemudian, lelaki itu tertawa sinis. "Hubungan kalian tak rumit, tapi kau sendiri yang mempersulit. Kau bisa pergi dan meninggalkannya, lalu mencari kebahagiaan baru yang bisa--"
"Tidak semudah itu," ucap Margo yang memotong perkataan William. "Kau tidak tahu apa-apa. Ada suatu alasan yang membuatku tak bisa melepaskannya ... bahkan ketika aku ingin."
Kemudian, Margo memutar balik tubuhnya, membelakangi William, "Pergilah ... aku ingin sendirian," tukas Margo.
"Tidak." William menolak keras, lalu berjalan mendekat, bahkan dia berhenti di depan Margo. Kemudian laki-laki itu menatap netra hazel Margo lurus, membuat wanita itu merasa terintimidasi. "Kalau aku pergi ... kau pasti menangis lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)
Romance[Follow dulu untuk kenyamanan bersama🙏] Ditarik sebagian demi kepentingan penerbitan. CERITA LEBIH BANYAK NYESEK DIBANDING BAHAGIANYA. ⚡WALLANCE BOOK TWO⚡ *** Ini kisah Margolie Charlotte yang terjebak di dalam kesalahan cinta satu malamnya. Ia me...