Daniel melirik arlojinya seraya mengernyit. Sudah 30 menit sejak Margo pergi ke toilet dan tak kembali. Sungguh aneh, mengingat wanita itu tampak menghindarinya setelah membahas perihal William.
Sedari tadi, Daniel tak terlalu memperhatikan karena sesungguhnya banyak orang yang mengenalnya di sini. Tapi setiap kali dia mengobrol, semua orang selalu bertanya, apa kau kemari sendirian?
Hell! Rasanya Daniel tidak pernah sendirian selama ini. Terlalu banyak wanita yang antre untuk jalan berdua dengannya, dan tentu saja karena hal tersebut dia tidak mungkin sendirian.
"Margo belum kembali?" tanya Erick pada Daniel yang sedari tadi tampak cemas. Meski tak terlalu jelas, tapi Erick mengerti perasaan Daniel. "Kau tidak mau menyusulnya?"
"Menyusul?" Daniel bergumam. Ah, dari mana saja dia? Kenapa sedari tadi ia tak terpikir untuk menyusul Margo?
"Iya. Kenapa sedaritadi kau hanya berdiri seperti orang bodoh? Kalau kau cemas, ya susul dia. Sama seperti, kalau kau mencintainya ... kau harus beritahu." Erick tiba-tiba memberi nasihat yang sukses membuat Daniel tercengang.
Sungguh aneh mendengar saran seperti itu dari sahabatnya yang bahkan kesulitan mencari tambatan hati. Namun jika dipikir-pikir lagi, saran Erick benar. Dia tidak bisa terus terjebak di antara dua hati. Daniel tahu, dia harus segera memilih.
Tapi masalahnya, dia tidak tahu wanita mana yang benar-benar ia cintai. Dia tak mau sembrono, dan akhirnya menyesal.
"Ah, aku ke sana dulu," ucap Erick yang kemudian melirik ke arah barat. Daniel mengikuti arah pandangnya, menemukan Stacy tengah berdiri di sana. Meski tampak seperti jalang, harus Daniel akui Erick dan Stacy tampak serasi bersama. Mereka seperti Romeo dan Juliet. Cocok.
Daniel celangak-celinguk sejenak sebelum menghela napas. Dia baru saja hendak bergerak dan mencari Margo, namun tangannya ditahan, hingga ia terpaksa menoleh.
Di sana, ada Amy yang tengah memandangnya dengan tatapan tak terbaca. Amy maju satu langkah mendekati Daniel. Lambat, dan sukses membuat jantung Daniel berpacu lebih cepat.
Ketika jarak kian mendekat, Amy menghentikan langkah kakinya, "Kita harus bicara."
Daniel meneguk salivanya kasar. Berusaha menghindar dari keadaan ini, "Aku ada urusan mendesak, aku harus mencari Margo."
"Jadi kau lebih memilih dia?" Amy memotong ucapan Daniel, menatapnya jejam penuh intimidasi. "Kau tidak lagi mencintaiku, Niel? Apa benar ... sekarang kau lebih memilih dirinya?"
Daniel terdiam. Benarkah dia lebih mencintai Margo? Itu pertanyaan yang terus-menerus Daniel tanyakan pada dirinya sendiri. Tapi sampai sekarang, Daniel belum menemukan jawaban pastinya.
"Karena aku sudah tak semuda dulu ... tak secantik dulu ... dan karena aku sudah pergi lama, kini kau tak lagi melirikku?" Sorot mata tajam penuh intimidasi itu kini meredup, menyisakan genangan air mata yang entah bagaimana bisa terkumpul begitu cepat.
Daniel kelabakan. Dia tak suka melihat Amy menangis. Sungguh.
"Tidak. Bukan begitu maksudku ...." Daniel hendak menjelaskan situasi yang sebenarnya, tapi terhalang. Karena tiba-tiba Amy menariknya keras dan ....
Cup!
Itu kecupan singkat. Ah, ralat. Awalnya hanya sebuah sentuhan bibir ke bibir. Tapi saat Daniel bergeming, Amy memanfaatkan kesempatan itu untuk memasuki mulutnya.
Wanita itu bermain-main dengan lidah Daniel, menyatukan pangutan mereka. Menekan leher Daniel agar ciuman keduanya semakin dalam, dan bergerak liar ... seolah tak mengizinkan Daniel untuk menghentikan aksi ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
[#W2] The Bastard That I Love (COMPLETED)
Romance[Follow dulu untuk kenyamanan bersama🙏] Ditarik sebagian demi kepentingan penerbitan. CERITA LEBIH BANYAK NYESEK DIBANDING BAHAGIANYA. ⚡WALLANCE BOOK TWO⚡ *** Ini kisah Margolie Charlotte yang terjebak di dalam kesalahan cinta satu malamnya. Ia me...