Prologue

2.2K 264 22
                                    


Lompat!

Tidak!

Lompat!

Tidak!

Telapak kaki pucat Son Seungwan tergelincir ketika kaki kanannya mulai menyentuh besi pembatas jembatan paling bawah, kembali kakinya menapak di atas aspal jembatan. Kedua matanya terpejam, tubuhnya yang hanya terbalut gaun merah cukup terbuka bergidik kedinginan. Tapi meski begitu ia betah berdiam di sana, masih menimbang dua pilihan itu di benaknya berkali-kali.

Angin musim gugur di jembatan Yanghwa memang sangat dingin. Tapi untuk saat ini, hatinya lebih beku lagi hingga kulitnya terasa mati rasa. Air matanya sudah terlanjur kering di pipi, kini tinggal bibir gemetarnya yang sesekali mengeluarkan isakan. Kakinya semakin melemah, tapi ia masih tak menyerah untuk menaiki pagar jembatan hingga deringan telepon lima meter di dekatnya berbunyi nyaring.

Kedua matanya sontak terbuka, menoleh sebentar kemudian kembali menatap ke depan. Tak sengaja tulisan menyala di pegangan jembatan terbaca olehnya: Apa kamu sedang kecewa?

Senyuman patah Seungwan terulas, disentuhnya gagang itu dan sontak kembali memancarkan warna yang berbeda: Apa kamu merasa putus asa?

Hujan di matanya pun turun lagi. Kini ia sudah tak peduli lagi dengan riasan elok pada parasnya, pun tatanan rambut bak putri istana. Persetan dengan itu semua, yang ingin ia lakukan sekarang hanyalah meraung. Mengasihani diri sendiri yang begitu menyedihkan.

Hah. Bagaimana bisa jembatan ini lebih memahaminya ketimbang semua manusia yang ia kenal di dunia? Lucu sekali.

Meninggalkan dunia bukanlah solusi yang tepat. Kamu tidak sendirian.

Dan hola! kini Seungwan sudah benar-benar berdiri tepat di atas pegangan jembatan. Tanpa tergelincir. Hanya sesekali limbung karena diterpa angin. Ia menatap ke bawah, genangan air yang warnanya begitu gelap sebenarnya agak membuatnya takut untuk melompat. Ia benci gelap. Tapi Seungwan tak tahu lagi harus bagaimana, ia ingin segalanya berakhir, dan hanya inilah satu-satunya opsi terakhir yang masuk ke dalam logikanya untuk mengakhiri semuanya.

Lelahnya sudah mencapai batas klimaks. Dan inilah akhirnya. Iya, Seungwan, ini akhir bagimu! Kamu hanya perlu memejamkan mata, menghitung sampai tiga dan lalu lompat! Iya, semudah itu! Satu..., dua...

"Lo tahu 'kan, lompat dari sini itu pilihan yang goblok banget buat mati?"

Tubuh Seungwan berjengit terkejut, untung ia masih bisa menyeimbangkan diri. Kepalanya menoleh ke asal suara, menatap lelaki pucat yang sedang menyesap rokoknya dengan hikmat di sampingnya itu. Entah sejak kapan dia ada di sini, yang pasti Seungwan tidak mengenalnya.

"Ka-kamu siapa?" suara Seungwan hampir habis, sementara si lelaki malah santai menyandarkan tubuh di pagar jembatan. Mendekat ke arahnya dengan natural, tak ada ketakutan atau kekhawatiran di matanya.

"Min Yoongi, kalau informasi ini. memang perlu banget buat lo di situasi ini." Jawabnya santai, masih menghisap rokok seolah tak ada apapun meski nyatanya ada gadis yang hendak mengakhiri hidup tepat di sampingnya.

"Pergilah! Aku nggak punya urusan sama kamu!" tukas Seungwan, kembali menatap pada genangan air di bawahnya. Menciptakan senyuman miring di bibir Yoongi.

Lelaki dengan gaya bicara selengekan itu membuang puntung rokok belum habisnya ke arah sungai han, memandangi jatuhnya batang nikotin kesukaannya itu ke bawah. "Hm, lompat aja! Gue ke sini cuma mau ngingetin, terjun ke sana hanya bikin lo kesiksa. Lo nggak bakal langsung mati, apalagi di bawah sekarang banyak tim SAR yang selalu siap siaga 24 jam. Gue saranin nih ya, kalau mau bunuh diri mending terjun dari lantai 63 noh di 63 building! Atau beli pistol, tembak di kepala. Dor! Kelar!"

Ocehan Min Yoongi membuat Seungwan diam-diam goyah, ia melongok ke bawah lagi, dan benar saja! Banyak kapal tim penyelamat di sana yang berlayar. Kelihatan dari lampu-lampunya.

"Lo lihat paman itu?" Seungwan menatap ke arah jari telunjuk Yoongi, "Demi menjaga kesehatan dia selalu olahraga di pinggir sungai han tiap malem."

Bola mata Seungwan memerhatikan paman berjaket parasut yang begitu semangat berlari menyusuri pinggir sungai han. Meski nampak begitu kecil, tapi Seungwan masih bisa melihatnya. "Lo juga bisa lihat bibi itu 'kan? Walaupun dia keliatan capek banget sama pekerjaannya, tapi ia masih semangat buat bekerja." Air mata Seungwan kembali menumpuk di pelupuk mata. Mati-matian ia menggigit bibirnya, menahan tangis ketika melihat seorang bibi tengah membersihkan jalanan tepi sungai han tengah malam seorang diri. Dan kalimat tanya selanjutnya yang dilontarkan Yoongi membuat tubuhnya sontak membeku: "Dan sekarang lo lihat diri sendiri, nggak malu sama mereka?"

Tangisan Seungwan akhirnya pecah lagi, isakannya lebih besar dari sebelumnya. Dengan keras ia berteriak untuk melepaskan segara rasa sesak yang mengganjal di hati. Yoongi tersenyum kecil, mengulurkan tangannya pada gadis berkulit pucat itu. suara rendahnya berujar lembut, "Ayo turun."

Seungwan menatap tangan Yoongi, lalu beralih pada wajah menenangkan namun juga mengintimidasi milik lelaki itu. Isakannya masih terasa, membuat ia sedikit kurang seimbang berdiri di puncak pagar pembatas. Ragu-ragu ia genggam tangan Yoongi yang langsung dikukung kuat oleh si lelaki dan ditariknya tubuh kecil Seungwan hingga terjatuh ke dalam pelukannya. Tangan kecil Seungwan meremas jaket Yoongi erat, selagi Min Yoongi memeluknya tak kalah erat pula.
Tak peduli akan fakta bahwa ia dan si Yoongi ini tidak saling mengenal, Seungwan sangat membutuhkan pelukan saat ini.

"You did a good job." Hanya itu yang dikatakan Yoongi. Tangannya menepuk-nepuk punggung Seungwan berirama. Memberi ketenangan dan kehangatan, sebab ia bisa merasakan bagaimana dinginnya tubuh Seungwan saat ini di pelukannya.

"Nona Son Seungwan! Ya Tuhan! Ternyata Anda di sini!" seruan lantang itu sontak membuat Seungwan melepas pelukannya. Gadis itu sedikit mendorong tubuh Yoongi agar menjauh darinya, lalu mnudur selangkah dengan ekspresi kebingungan. Sementara pria yang memakai pakaian serba hitam dan baru saja memanggil nama Seungwan itu langsung memeriksa keadaan Seungwan. "Cepat bawa jaket nona ke sini!" teriaknya pada seorang anak buah yang baru saja keluar dari mobil mewah berwarna hitam saat menyadari bagaimana gemetarnya tubuh sang nona muda.

"Astaga, nona kemana saja? Nyonya sangat mengkhawatirkan Anda." Ucap pria itu lagi, sambil membungkus tubuh kecil nona-nya dengan jaket tebal panjang. Seungwan hanya diam, menatap Yoongi sejenak lalu mengalihkan pandangannya ketika melihat senyuman tipis lelaki itu. Membiarkan tubuhnya digiring pergi oleh dua orang bodyguard yang memang ditugaskan untuk menjaganya sejak kecil.

Seungwan memasuki mobil, disusul dengan dua pria kekar itu yang langsung mengambil tempat di depan. "Ada apa dengan nona? Kenapa riasan nona jadi rusak seperti ini?"

Hela napas panjang Seungwan keluar. "Iam okay." Jawabnya sekadar.

"Katakan jika nona butuh sesuatu."

"Paman!" tak ada nada maupun irama dalam panggilannya. "Sebelum pulang, bisa kita mampir ke salon dulu?"

"Baik."

"Dan juga, tolong rahasiakan ini pada orang tuaku. Katakan saja kalian menemukanku di kafe, menenangkan diri."

Pria yang berada di samping kemudi itu menatap Son Seungwan dari spion dalam, simpati dan syok secara bersamaan. Sungguh, ia tak pernah menyangka gadis se-intelektual Son Seungwan memiliki pikiran untuk mengakhiri hidupnya seperti itu.

...

Next: 01

D O L L Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang