Di saat langit menjadi mendung
Saat itu jugalah aku
Membenci alamRain
----------------------------------------------
Ketika matahari telah memancarkan sinarnya yang indah. Pohon-pohon mengeluarkan oksigen yang menyehatkan, dan pemandangan yang masih asri belum tercemar polusi udara yang beracun. Burung-burung pun mengeluarkan cicitan mereka yang merdu.
Rain sangat menyukai saat-saat seperti ini. Saat di mana dia dapat merasakan kedamaian yang jarang dia dapat di lingkungan hidupnya. Beginilah nasib yang harus diterima Rain. Terlahir di antara orang tua yang hanya mementingkan pekerjaan dibandingkan keharmonisan keluarganya sendiri.
Akibat orang tua yang workholic, mengharuskan Rain hidup mandiri tanpa ketergantung dengan orang lain. Membiasakan hidup tanpa adanya kasih sayang yang cukup. Jika Rain bisa memilih nasib hidup. Ia pasti akan memilih kehidupan yang sederhana dengan adanya kedua orang tua di sisinya, mengikuti tumbuh-kembang dirinya, bermain bersama seperti layaknya anak-anak yang lain dengan kedua orang tua yang ada di samping mereka.
Rain terkadang iri kepada semua orang yang kehidupannya dibanjiri kasih sayang kedua orang tuanya. Namun apalah daya dirinya yang tak mampu melawan takdir Yang Maha Kuasa. Rain hanya bisa berdoa, berharap suatu saat apa yang dia inginkan bisa terwujud.
Tok ... tok ... tok ....
Bunyi ketukan pintu menghentikan kegiatan Rain yang sedang menikmati keindahan di pagi hari di balkon kamarnya.
"Non, apakah sudah selesai bersiapnya. Tuan dan nyonya sudah menunggu di meja makan."
"Huuhh ...."
Rain menghela napas lelah mendengar suara Bi Asri. Rain selalu berharap Sang Mamah yang memanggilnya untuk makan bersama jika sedang ada di rumah. Tapi apa boleh buat. Mungkin itu hal mustahil yang akan dilakukan Mamahnya untuk Rain.
"Iya Bi, aku akan turun sebentar lagi," kata Rain.
"Baiklah Non, tapi jangan terlalu lama ya Non. Saya takut Tuan jadi marah nanti."
Setelah itu tak terdengar lagi suara Bi Asri. Mungkin dia sudah turun ke bawah. Tak ingin menyebabkan masalah kembali, Rain segera turun setelah merapikan bajunya, dan mengambil tasnya yang tergeletak di tempat tidurnya.
Masih seperti biasa. Tak ada yang istimewa jika kedua orang tuanya ada di rumah. Jangan pernah berharap ada sapaan di pagi hari, karna hal itu tak akan pernah didengar. Saat Rain telah duduk di kursinya pun tak ada yang mengangkat suara. Setidaknya bentuk pertanyaan tentang kabar Rain pun tak ada sama sekali.
Merasa anggota keluarga tersebut sudah hadir semua, mereka langsung saja melaksanakan rutinitas sarapan pagi. Tak lama kemudian terdengar suara Sang Mamah.
"Bagaimana sekolahmu Rain?" tanya Mamah.
"Uhuukk ... uhukk ...." Rain tersedak dengan ucapan Sang Mamah barusan.
"Pelan-pelan Rain makannya," kata Sang Papah dengan suara yang masih tegas.
Rain yang bingung dengan sikap kedua orang tuanya yang berbeda hari ini, tak bisa berkata apapun. Bi Asri yang juga mendengar ucapan kedua majikannya itu dibuat melongo. Soalnya, baru pertama kali Bi Asri mendengar pertanyaan dan nasehat yang diberikan majikannya terhadap putri sulung mereka. Melihat sedikit perubahan yang terjadi itu membuat Bi Asri tersenyum akhirnya.
"Ekhem."
Suara deheman Sang Papah menyadarkan Rain yang tadinya kebingungan.
"Mamah kamu tanya Rain, seharusnya kamu menjawabnya. Apa di sekolah kamu tidak diajarkan cara menjawab pertanyaan?"
Perkataan Papah barusan, membuat hati Rain yang tadinya sedikit bahagia mulai luntur kembali. Dia kira ada sedikit perubahan pada kedua orang tuanya setelah sekian lama dirinya terlantar tanpa ada kasih sayang. Namun, itu masih belum terjadi. Nyatanya orang tuanya masih saja bersikap acuh pada Rain. Tapi Rain tak berputus asa, dia pikir sudah ada sedikit kemajuan dari kedua orang tuanya yang mau bertanya dan menasehati Rain meskipun dengan cara yang berbeda.
Sebelum menjawab Rain memandangi Mamah dan Papahnya terlebih dahulu secara bergantian, "Maaf Pah, Mah. Sebelumnya Rain mau minta maaf terlebih dahulu karna Rain tidak langsung menjawab pertanyaan Mamah. Masalah sekolah, Rain baik-baik aja. Dan makasih untuk Papah yang udah menasehati Rain."
"Hem."
Hanya itu yang diucapkan oleh Papahnya setelah mendengar penuturan Rain. Rain hanya bisa tersenyum miris mendengar hal tersebut dari Papahnya.
"Ya sudah. Mamah sama Papah mau berangkat lagi sekarang, jaga dirimu baik-baik Rain. Hati-hati di rumah," kata Mamah.
Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara Rain dengan Mamah Papahnya. Rain mulai berdiri mengikuti Mamah Papahnya yang sudah berjalan lebih dulu di depannya. Rain akan selalu melepas kepergian kedua orang tuanya seperti itu meskipun hanya sekedar melihat kepergian mobil orang tuanya di ambang pintu masuk utama rumahnya.
Bi Asri yang mendekati Rain pun berkata, "Yang sabar ya Non. Setidaknya Tuan dan Nyonya ada perubahan pada Non Rain."
"Iya Bi, Rain akan selalu sabar menunggu hari itu tiba. Tapi hari ini Rain sangat bersyukur dan sangat senang. Untuk pertama kalinya Mamah bertanya tentang Rain dan Papah menasehati Rain juga," kata Rain sambil tersenyum.
"Bibi juga ikut senang Non melihat perkembangan keluarga Non."
"Iya Bi, makasih. Kalau gitu, Rain langsung berangkat aja deh Bi. Takut telat."
"Iya Non, hati-hati di jalan ya Non."
"Iya Bi, aku pergi dulu ya. Hati-hati Bi di rumah, aku dengar kemaren ada yang sedang gentayangan. Salam ya Bi kalau dia mampir ke sini."
Rain terkikik lalu pergi setelah mengatakan itu pada Bi Asri.
Berbeda dengan sikapnya saat di rumah yang terdengar suka bercanda. Di sekolah sikap Rain akan terlihat sangat cuek dan jarang perduli akan sekitarnya.
Setibanya di sekolah, Rain berjalan dengan buku-buku pelajaran serta novel yang dia bawa di tangannya. Rain tak berjalan sendiri, ada Mita yang berjalan bersamanya saat ini. Dia tak sengaja bertemu dengan sahabatnya itu di depan gerbang. Lalu mereka berjalan bersama menuju kelas. Di perjalanan Mita membicarakan cowok yang katanya murid baru pindahan dari London.
"Memangnya lo yakin dia murid baru di sini Ta? Kok gue nggak tau ya ada murid baru di sekolah ini," kata Rain santai.
"Ih seriusan Rain, gue nggak bohong. Gue denger dengan jelas kok, ketua geng pelangi itu ngomong. Katanya hari ini ada murid baru cogan. Lagian lo mah mana tau hal kayak gini Rain, lo aja cueknya minta ampun sama cowok-cowok di sini.
"Dan yang terpenting, berita ini bukan hoax. Gue sih kali ini percaya sama tu ketua geng pelangi-pelangi, soalnya dia kan anak kepala sekolah. Seleranya juga nggak rendahan. Ya ... pasti akurat deh tuh beritanya. Kita lihat deh nanti." Mita mengatakan dengan menggebu-gebu.
Rain melihat ke arah Mita lalu berkata, "Iya, iya Ta. Terserah lo deh, lebih baik fokus ke jalan aja entar nab--"
Perkataan Rain terpotong ketika tak sengaja ada cowok yang menabrak bahunya dan membuat buku-buku di tangannya jatuh berserakan.
"I'm sorry. Gue nggak sengaja. Gue buru-buru soalnya," kata cowok itu sambil memunguti buku-buku Rain yang berserakan. "Nih buku ... nya."
Saat memberikan buku itu pada Rain. Cowok itu terdiam memandangi Rain cukup lama. Hingga suara batuk Mita yang dibuat-buat itu menyadarkan Rain dan cowok itu lalu sama-sama berdiri.
"Sekali lagi saya minta maaf ya," katanya.
Cowok itu mengulurkan tangan ingin berkenalan dengan Rain, namun Rain pergi setelah mengatakan kata tidak apa-apa. Melihat sikap Rain, cowok itu tersenyum sendiri memandangi kepergian gadis yang ditabraknya itu.
****
New story lagi..
Di baca ya....Salam sayang ♡
Yessysan
![](https://img.wattpad.com/cover/145009224-288-k771043.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Rainy
Teen FictionNamanya Rainy, sering dipanggil Rain. Kalau dalam bahasa Inggris Rain itu artinya hujan. Tapi bagaimana kalau Rain tidak menyukai hujan. Bahkan sampai membenci hujan. Berbeda dengan namanya, Rain sama sekali tidak membenci itu. Bagi Rain, namanya me...