Bab 8

1.9K 157 34
                                    

Selamat menikmati~

.

.

.

.

.

-Sakura-

"Ibu."

Aku mengalihkan pandanganku dari majalah yang sedang aku baca ke arah anak laki-laki yang terbaring di sampingku, sejak Naruto berangkat bekerja aku memutuskan untuk duduk di samping Shina yang masih tertidur sambil membaca sebuah majalah, aku sengaja duduk di sini agar saat Shina bangun dia tidak mengira jika aku dan Naruto tidak perduli kepadanya.

"Iya, Sayang. Ibu di sini, apa yang Shina rasakan?" ujarku sambil agak menundukan wajahku agar lebih dekat dengan Shina, aku belai wajahnya yang masih terlihat pucat.

"Haus, Bu," ujar Shina masih dengan suara serak dan pelan, langsung saja aku ambilkan gelas berisi air putih yang telah aku siapkan di atas nakas.

"Shina masih pusing?" ujarku sambil membelai surai kuningnya.

Shina hanya menggeleng dan memberikan gelas yang isinya telah berkurang kepadaku, "Shina mau kemana?" ujarku saat melihat Shina menyingkap selimutnya dan berusaha turun dari ranjang.

"Tentu saja sekolah. Maaf, Bu kemarin aku sudah membolos," ujarnya sambil menunduk.

"Ibu yang minta maaf, Sayang," kataku sambil membawa Shina yang duduk di sebelahku ke dalam pelukanku, mengecup puncak kepalanya sebelum kembali berujar, "Ibu sangat menyayangi Shina dan Ibu tidak akan memaafkan diri Ibu sendiri jika terjadi sesuatu dengan kamu, Sayang," ujarku sebelum mencium kening Shina.

"Bu, ayo kita pergi dari sini," kata Shina sambil mengeratkan pelukannya.

"Shina mau kemana? Nanti kita bicarakan sama Ayah, ya?"

"Jangan, Bu! Cuma kita, Ayah tak pernah menyayangiku."

"Sstt... Jangan bicara seperti itu, Sayang. Kami sangat menyayangi kamu, bahkan tadi pagi Ayah yang mengganti baju Shina," ujarku sambil membela rambut Shina, jujur saya aku sedikit terkejut kenapa Shina mengira Naruto tak menyayanginya? Padahal sejak kecil Naruto yang lebih banyak menghabiskan waktu bersama Shina.

"Tapi buktinya Ayah pergi, Ayah selalu lebih mementingkan-"

"Sayang, Ibu yang menyuruh Ayah untuk-"

"Kenapa kalian menikah?" aku terdiam saat tiba-tiba Shina melepaskan pelukannya dan menatapku.

"Apakah kalian benar-benar menyayangiku? Kenyataannya kalian tak pernah ada untukku."

"Ibu minta maaf, Sayang. Ibu minta maaf karena Ibu terlalu terobsesi menjadi seorang dokter sampai tidak memikirkan perasaanmu," air mataku mengalir, sejenak aku mengambil nafas sebelum melanjutkan, "maafkan Ibu yang selalu meninggalkanmu bersama Ayah-"

"Tapi Ayah tak pernah ada, Bu! Bahkan sejak aku kecil setiap aku mencari Ibu, Ayah akan pergi! Ayah hanya menyayangi anak perempuannya!"

"Anak perempuan?"

Syok? Tentu saja, aku benar-benar terkejut atas semua ucapan Shina, pikiranku langsung kacak, benarkah apa yang di katakan Shina? Atau ini hanya kesalah paham biasa? Tapi hatiku benar-benar seperti diiris saat aku melihat air matanya yang mulai membasahi pipinya.

"Aku melihatnya, Bu. Sangat jelas, aku tak berbohong Bu, walaupun saat itu aku masih berumur 2 tahun tapi aku tak bisa melupakannya, walaupun aku sangat ingin melupakannya," Shina kembali menyandarkan kepalanya di bahuku dan aku tetap terdiam, apalagi cobaan yang akan terjadi, Kami-sama?

Our Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang