Bab 9

2K 146 23
                                    

-Sakura-

Aku tatap pantulan wajahku di cermin, kata-kata Shina masih mengganggu pikiranku, perasaanku campur aduk antara marah, kecewa dan bingung tapi aku harus terus berusaha mengontrol emosiku baik di depan Shina maupun Naruto dan aku juga harus memberi pengertian kepada Shina untuk bersikap biasa di depan Naruto, untuk sekarang setidaknya aku bersyukur sekarang Shina sudah lebih ceria setelah teman-temannya datang ke rumah siang tadi. Jarum jam sudah menunjukan pukul 09.00 malam, aku buka laci meja riasku dan mengambil sebungkus obat, ini adalah pil pencegah kehamilan, Naruto tak mengetahui jika aku memiliki pil ini karena aku selalu mengunci laci meja riasku, sejak dulu aku memang mengkonsumsinya karena belum siap memiliki anak lagi, baru sebulan aku berhenti mengkonsumsinya karena aku pikir keluarga kami memang membutuhkan penerus, aku adalah anak tunggal jika Shina menjadi penerus keluarga Naruto bagaimana dengan keluargaku? Aku juga berpendapat mungkin seorang adik bisa mengusir rasa kesepian Shina tapi sekarang aku berubah pikiran, jika Shina tak dapat bahagia lalu bagaimana jika sampai Shina memiliki adik? Jangan sampai ada anakku yang akan menderita lagi. Aku ambil segelas air yang memang sudah aku siapkan dan meminum pil itu. 'Aku tak akan melepaskanmu, Naruto dan akan aku pastikan hanya Shina yang akan mendapatkan semua hal yang memang seharusnya hanya menjadi hak milik Shina. Apapun yang sekarang sedang kamu lakukan, aku akan membiarkannya sampai Shino memberikan kepastian apa yang terjadi tapi sejak kamu pulang akan aku pastikan jika perhatianmu hanya untuk Shina.'

#

#

#

#

#

Aku tersenyum saat melihat Shina yang masih memasang tampang cemberut sambil terus mengganti saluran televisi.

"Shina makan dulu, ya? Ini sudah siang, Sayang," ujarku sambil membelai rambut Shina, tapi Shina masih tetap saja mengabaikan kata-kataku, "Shina kan masih sedikit demam kalau nanti sampai sakit seperti kemarin lagi bagaimana?"

"Aku sudah sembuh, Bu! Aku sudah 2 hari tidak masuk dan sekarang jadi 3 hari karena Ibu melarangku untuk berangkat."

"Kamu masih sedikit demam, Sayang. Kalau Shina sakit lagi bagaimana? Memang Shina mau melihat Ibu menangis?" ucapku sambil membawa Shina ke dalam pelukanku, Shina hanya menggeleng sebagai jawabannya, "Shina sayang Ibu?" pertanyaanku kali ini hanya dijawab dengan anggukan oleh Shina, "sayang sama Ayah?" aku kembali bertanya tapi Shina justru tak memberikan respon.

"Shina tidak boleh begitu, jika Shina tidak mendekatkan diri kepada Ayah nanti Ayah justru lebih dekat dengan yang lain. Bukankah Shina tidak ingin Ayah mementingkan orang lain? Ayah hanya milik Shina dan Shina harus bisa membuat Ayah hanya mementingkan Shina," ujarku sebelum mencium kening Shina.

"Milik Ibu juga terus Kakek dan Nenek," ujar Shina sambil mendongak menatap ke arahku.

"Iya, Sayang, Ayah milik kita," aku tak dapat menahan senyumanku, benar apa yang dikatakan Ino, jika aku harus lebih banyak meluangkan waktu dengan Shina.

"Tapi siapa anak yang suka berpergian dengan Ayah, Bu? Kenapa Ayah lebih menyayangi dia?" sesak di dadaku kembali terasa, apa yang harus aku katakan?

"Ibu tidak tahu, Sayang tapi mulai sekarang Ibu yang akan memastikan jika perhatian Ayahmu hanya untukmu saja." Biarkanlah aku egois bahkan aku tidak perduli jika apa yang aku lakukan akan membuat orang lain menderita, asalkan anakku bahagia apapun akan aku lakukan, "mulai sekarang kita akan sering menghabiskan waktu bersama."

"Bagaimana dengan pekerjaan Ibu?"

"Tentu saja Ibu akan menguranginya, Sayang."

"Tapi Ayah lebih sering bepergian dari pada di rumah," Shina kembali murung setelah mengatakan itu, aku tersenyum sebelum mengusap pipi Shina dan berujar, "maka kita akan mencegah supaya Ayah tidak pergi."

Our Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang