Bab 12

1.8K 156 29
                                    

-Sakura-

Aku duduk termenung di kursi meja belajar kamarku, saat ini aku sedang berada di rumah orang tuaku. Kamar ini belum berubah masih sama seperti dulu sebelum hal itu terjadi, kami memang tak pernah menginap di sini, rumahku dan rumah Naruto bersebelahan saat kami datang ke sini maka kami akan menginap di rumah Naruto dan itulah kenapa kamar ini masih seperti saat aku sendiri, di kamar ini juga aku selalu merenung, merenungkan kenapa kebahagiaan seperti enggan menghampiriku. Inginku kembali ke masa itu, masa di mana yang kami tahu hanyalah bermain, bagaimana dia selalu menyebabkan aku dalam masalah tapi juga orang yang menyebabkan aku tertawa lepas, orang yang selalu ingin aku cari, seseorang yang melebihi saudara bagiku, seseorang yang sepanjang memoryku bisa mengingat selalu ada di sampingku. Aku tersenyum saat mengingat hari-hari itu, hari-hari saat dia dimarahi karena membuatku menangis, hari-hari dimana dia di marahi karena mengajakku bermain ke tempat berbahaya, hari-hari dimana dia berjanji akan selalu membahagiakanku, senyumku hilang. Foto-foto itu ada di hadapanku, foto-foto yang semakin menghancurkan duniaku. Disaat aku ingin memperbaiki segalanya, disaat aku sadar atas segala kesalahanku kenapa aku justru mengetahui kenyataan ini? Aku tersenyum miris, miris akan kisah hidupku, orang yang aku pikir akan selalu bisa menjadi sandaran ku, yang bisa membuatku tersenyum tapi dialah yang membuat aku merasakan hancurnya hati ini. Muncul di benakku, 'seharusnya aku menikah dengan orang yang aku cintai.' Ya, seandainya aku menikah dengan Sasuke mungkin semua ini tak akan terjadi, lihatlah betapa bahagianya Hinata. Bahkan Sasuke bisa dekat dengan Shina dibandingkan dengan ayah kandungnya.

"Ini beberapa foto keseharian Naruto, apa aku perlu menyelidiki siapa anak dalam foto itu? Kamu hanya menyuruhku mengikuti Naruto jadi hanya itu yang aku lakukan," kata-kata Shion kembali muncul dalam benakku, aku hanya menjawab jika itu tidak perlu, lagi pula hanya dengan melihat foto-foto ini semua sudah jelas. Aku kenal semua saudara Naruto dan jelas baik wanita serta anak perempuan ini bukan saudara Naruto, jadi aku sudah bisa menyimpulkan. Hubungan apa lagi yg dimiliki laki-laki dan perempuan yang tinggal serumah? Ya, ada foto Naruto masuk ke sebuah rumah, foto mereka pergi bertiga, foto Naruto menyuapi anak perempuan itu, foto Naruto menggendong anak itu, dan banyak foto yang membuat air mataku tak kuasa aku bendung. Bagaimana sakitnya hati Shina jika melihat foto-foto ini? Anakku yang tak pernah merasakan kehangatan orang taunya, tiba-tiba aku mengingat perkataan Shina, anakku pernah melihat ayahnya menggendong anak perempuan dengan wanita lain jika foto ini sudah menghancurkanku bagaimana dengan Shina? Kami-sama apa yang harus aku lakukan?

Aku merasakan pipiku basah, tanpa sadar sepertinya aku telah menangis antara ingin melepas Naruto tapi ada perasaan tak rela di dalam hati kecilku jika melihat Naruto bahagia dengan yang lain. Bagaimanapun aku telah hidup bersama dengan Naruto nyaris seumur hidupku walau aku pernah membencinya tak munafik jika setitik rasa ada di hatiku, tapi jika aku mempertahankan Naruto apakah itu tidak egois?

"Bu," aku buru-buru menghapus air mataku sebelum berbalik menghadap Shina yang masih memegang gagang pintu.
"Shina? Sedang apa kamu di sini?" jujur saja aku terkejut melihat Shina ada di rumahku, buru-buru aku menaruh semua foto-foto itu ke dalam laci sebelum berdiri mendekati  Shina.
"Aku memang selalu ke sini atau ke sebelah sepulang sekolah bu," satu hal lagi yang aku tak tahu tentang anakku, aku selalu mengira jika Shina akan langsung pulang ke rumah, "Nenek bilang Ibu di kamar jadi aku ke sini, kata Nenek ibu belum makan siang," lanjutnya.
Aku tersenyum sebelum memeluk Shina dan mencium dahinya, "Shina sudah makan?" tanyaku yang dibalas gelengan kepala oleh Shina, "kalau begitu ayo kita makan bersama."
.

.

.

.

.

-Shinachiku-

"Kenapa kita ada di sini?" tanya Hika sambil bersedekap di depan dada.

"Tentu saja memancing," jawabku yang saat ini sedang berdiri di dalam sungai sedangkan Hika berdiri di tepi sungai. Kami -aku, Hika, Chouchou, Inojin dan Shikadai- baru saja selesai bekerja kelompok, tentu saja kelompok ini sudah ditentukan, ya jika tidak mungkin Hika tidak mau satu kelompok denganku. Hah~ mungkin Hika merasa tersaingi dengan kehebatanku atau dia hanya malu-malu kucing haha. Dan karena di hari minggu biasanya aku, Shikadai dan Inojin memang sering bermain di sungai dekat rumah Inojin maka hari inipun sama, bahkan kami berniat memancing untuk di jadikan ikan bakar jadi kami mengajak Hika dan Chouchou, Chouchou tentu saja langsung mau bahkan saat ini dia sudah turun ke sungai langsung untuk mencari ikan, Inojin duduk di tepi sungai sambil memancing sedangkan Shikadai sedang mencari kayu bakar. Di belakang rumah Shikadai ada kebun yang sangat luar di situlah kami biasa mencari kayu bakar, hanya ranting2 kecil sebetulnya tapi cukuplah untuk membakar ikan. Tapi lihatlah Sang Putri yang masih bersedekap tangan padahal teman-temannya sudah mulai mencari ikan, hadeh.

"Aku akan pulang-" dan Byuur~ aku menarik Hika hehe...

"SHINA!!! Apa yang kamu lakukan?!"

"Main di sungai itu menyenangkan, ayolah~"

"Tapi lihat bajuku jadi basah begini!"

"Bajuku juga basah kok," jawabku innocent.

"Celana dan lengan bajuku juga basa Hika, tapi air di sini memang segar," kata Chouchou yang membuat aku nyengir, ya aku ada sekutu hehe.

"Wah kalian sudah asik ya, aku juga ikut, " ujar Shikadai yang berjalan sambil membawa ranting kayu, di letakannya ranting kayu di tepi sungai sebelum ia ikut masuk ke dalam sungai.
.
.
.
.
.
"Tenang saja Hika, nanti juga bajumu kering sendiri, apa lagi cuacanya sedang bagus begini," ujarku pada Hika yang masih merengut karena bajunya basah, kami sudah selesai mencari ikan, Inojin bahkan sedang membersihkan ikan-ikan itu sementara kami duduk berkeliling di depan api unggun.
"Ini," ujar Inojin sambil menyerahkan ikan kepada kami satu persatu, ikannya sudah di tusuk ke dalam bambu kecil.
"Mana bumbunya?" tanya Hika saat menerima ikan dari Inojin.
"Tidak pakai bumbu tapi enak kok, coba saja nanti," jawab Shikadai, kami memang sudah biasa melakukan ini jadi bagi kami ini enak entah menurut Hika bagaimana hehe.

.

.

.

.

.

-Sasuke-

Entah kenapa aku merasa ada yang disembunyikan oleh Hinata, aku menyesal langsung marah saat menemukan surat aborsi itu tanpa menanyakannya baik-baik kepada Hinata, dan entah kenapa walau sudah berbicara dengan Hinata aku tetap merasa seperti ada yang tak beres apa sebaiknya aku menghubungi dr. Shizune? Ya, mungkin aku memang harus menemui dr. Shizune.
.
.
.
"Bukan keinginan Hinata untuk melakukan aborsi, Sasuke. Tetapi aku yang menyarankan Hinata untuk melakukan aborsi kita sama-sama tahu jika fisik Hinata lemah, sistem imun tubuhnya lemah terlebih lagi Hinata sudah 3 kali menjalani operasi ceasar. Untuk saat ini kondisi janin memang sehat tapi kondisi Hinata yang akan semakin melemah, kamu belum lupa bukan bagaimana kehamilan Hinata yang terakhir? Dia benar-benar harus badrest dan pada akhirnya Hoshi tetap harus lahir prematur karena kondisi Hinata yang semakin menurun," kata-kata dr. Shizune membuat aku tak bisa berkata apapun dan serentetan kalimat kejam yang telah aku lontarkan pada Hinata seperti menusuk jantungku.

"Anak adalah hadiah terindah tapi kita juga harus mempertimbangkan kondisi ibunya, Hinata tak mengatakan apapun saat aku menyarankan aborsi oleh karena aku menyuruhnya untuk membicarakan hal ini denganmu dan berkonsultasi dengan dr. Tsunade terlebih dahulu, bagaimana menurutmu, Sasuke?"

Kami-sama apa yang telah aku lakukan? Wanita yang telah mempertaruhkan nyawanya demi melahirkan anakku justru aku tuduh dengan tuduhan yang keji, kami-sama berilah kesempatan pada hambamu ini untuk bisa membahagiakannya lebih dan lebih lagi serta dapat meluruskan segalanya sebelum terlambat.
.

.

.

.

TBC

hay hay ga mau kasih pembelaan apa-apa sih karna update yg lama hehe

Jangan lupa vomment ya~

Purwokerto, 3 Desember 2019

Sora H.

Our Wedding Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang