Don't leave 005

66 18 6
                                    

"Lo mau ngomongin apa, var?" tanyaku sambil memainkan kerikil kerikil di taman komplek dengan kakiku. Canggung, yes. Ucapku dalam hati. Belum sempat gue ngomong lagi,  Alvaro menarik tubuh gue dan memeluknya erat, seraya meletakkan kepalanya dipundak gue.

"Ke..Kenapa, Var?" Tubuhnya kini bergetar hebat, gue melingkarkan tangan gue ke pinggangnya. Erat, lalu melanjutkan kata-kataku sebelum akhirnya pundakku, basah?

"Ka.. Kamu nangis?" Suara yang keluar dari mulutku, membuat isaknya semakin keras. Gue elus pundaknya berharap agar dia sedikit lebih tenang.

"Gue.. nggak tau harus mulai dari mana, Rin" suara seraknya bergetar hebat. "Pelan-pelan aja ceritanya, lagian malam ini gue nginep dirumah lo kan?" Ucapku disambut anggukan lemahnya, terukir senyum sendu di bibirnya.

Hening. Alvaro berdeham lalu membuka suara, "Gue nggak suka lo lebih banyak ngabisin waktu sama Kenzie." Jleb. Gue terpatung untuk sesaat.

"Gue ngerasa lo bakal ninggalin gue, Gue nggak siap, Rin, Gu--" Kata-katanya terputus karena gue menutup mulutnya dengan telapak tangan.

Lalu gue tersenyum kepadanya sambil memeluknya erat,Dia membalasnya. Tangisanku kini semakin keras, membuat hoodie bape yang dipakainya basah. "Lo bego, Var," gumamku disela-sela isakan.

"Gue sadar akan hal itu kok,Rin" ucapnya lembut, hampir seperti bisikan. Kini gue bisa ngerasain bahwa pria ini benar-benar serius karena punggung tangan gue basah terkena air matanya.

"Gue nggak bakal ninggalin lo, Var. Lo nggak tau seberapa pentingnya lo dihidup gue," ucapku sambil memukul dada pria ini, membuatnya meringis kesakitan.

"Hah? Maaf-maaf sakit ya? Lo sih," lagi-lagi bibir gue mengeluarkan suara, membuat suasana malam yang pekat ini sedikit netral. Kami hanya berdiam dengan posisi berpelukan erat.

"Please.. jangan.. tinggalin gue," gumamnya sambil meletakkan dagunya dipuncak kepalaku. "Nggak akan pernah,Var." Ucapku sambil menoleh kepadanya, senyum yang sudah lama hilang, terukir kembali dibibir tipisnya itu. Sekarang, lo jangan pernah ngelepas senyum itu lagi ya,Var, gumamku dalam hati.

Mata kami bertemu lama, tatapan penuh arti-arti tersembunyi, beda dengan yang ia berikan 30 menit yang lalu, tatapan yang menunjukan kekhawatiran, takut.

Malam ini terasa hangat, walaupun weather forecaster mengatakan akan hujan. Asal Alvaro bahagia, gue juga bahagia. Alvaro kini bisa tersenyum lebar, becanda dan kembali menjadi Alvaro yang gue kenal.

***

"KENA LO!" tawanya seraya memercikkan air ke wajahku. "IHH, VAR. UDAH DONG!!" teriakan yang menunjukan bahwa gue kesal namun  hanya ditanggapinya dengan tawa tebahak-bahak.

Alvaro Aria Putra, primadona sekolah kami, tidak heran kenapa banyak cewek-cewek yang menggodanya. Toh karena dia baik, ganteng, pinter. Mereka nggak tau aja sifat asli orang yang dipuji-puji bagaikan malaikat, Dasar, pikirku dalam hati

Beberapa tahun yang lalu,gue sama Alvaro digosipin pacaran, setelah kejadian itu. Gue mengklarifikasikan hubungan kami yang sebenarnya.

"Lagi-lagi gosip itu," gumamku datar,
"Eh,Var lo risih nggak sih? harus ngeladenin lovers lo," ucapku sambil melahap kembali bakso gue yang gue tinggalin sebentar, kemudian Alvaro mengangkat sebelah alisnya "Lo yakin lo nggak nanya pertanyaan yang lo udah tau jawabnnya?" Pekiknya sambil menyeruput orange-juicenya. Memang sih Alvaro nggak terlihat risih, tapi aslinya dia risih banget.

Tanpa basa-basi gue ngelanjutin makan bakso gue sebelum balik ke kelas, Alvaro sudah balik duluan tadi, jadi tinggal Gue sama Veli.

Suara bel pulang sekolah terdengar disetiap koridor sekolah, Gue bersemangat untuk pulang.
Nggak biasanya gue pengen pulang.

Hmm

Ada yang aneh.

Suara para gadis-gadis yang memohon Alvaro untuk pulang bersama mereka terdengar jelas dari lorong menuju kelas Alvaro. "Kak, pulang sama aku yuk."

"Eh, enak aja lu nenek lampir, gue duluan."

"Udah jangan debat, kakak pasti milih aku kan?"

"Hei! Gue duluan"

Alvaro menanggapi perdebatan itu lucu. Lalu ia menoleh kepadaku yang berada didepan pintu kelasnya. Melambaikan tangannya dan bergegas menuju tempatku.

"Yuk pulang," gumamnya tepat ditelingaku, geli. Gue mengangguk dan belum 5 menit kami sudah ada diparkiran. "Ayok naik, atau gue yang gendong?" Canda Alvaro membuatku terbangun dari lamunanku. "Eh, yaudah, jangan ngebut ya,Var"

***

"Mamii, Irin pulang" teriakku setelah mendapati tidak ada orang diruang tamu, lalu Mami yang sedang berdiri ditangga menghampiriku dan mengecup halus keningku.

"Tadi Ken datang kerumah nyari kamu tuh". "Oh iya? Yaudah Irin bersihin diri baru chat Kenzie" balasku mendapat persetujuan dari Mami.

From: Kenzie Aldric
Hai, Rin besok ketemuan yuk.

Setelah membaca text darinya aku langsung menekan beberapa angka di keyboardku, Tak lama Kenzie mengangkat telfonku
"Halo?"
"Besok jemput aku ya! Jam 12:30"
"Hahaha, at least answer me?"
"Sori hehee, Hai!"
"Oke sip, besok ya"
"Siap bos! gue tutup telfonnya ya"
"Hehe, okeii". Lalu aku menekan tombol merah di layar hand-phone milikku.

______________

Vote and comment yaaaa <3
Jangan lupa support author terus okay?

Sincerely,

Author.

I'm glad it was youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang