Her past. 006

55 13 2
                                    

Tinn tinn

Suara klakson mobil sport, gue bergegas melihat ke balkon kamarku.
Terlihat Kenzie dengan kacamata hitamnya yang membuat semua gadis-gadis didekatnya mengejar detak jantungnya.

Sambil berlari untuk segera membuka pintu untuk Ken agar ia tidak menunggu lebih lama lagi.

"Hai Ken," nafas terengah-engah terdengar jelas, mungkin jika kalian bertanya lho kok? Kan tinggal bukain pintu aja sampe kayak keliling tiga putaran lapangan basket, Yes. That's right.

"Masuk dulu yuk, biar aku suruh bi Naya buatin minum sekalian hehe," tidak sia-sia ajakan gue kali ini, langsung mendapat anggukan persetujuan dari Ken.

***

Setelah lima belas menit duduk bersebelahan dimobil tanpa atap milik Ken, kami sudah memesan minuman dan makanan di restoran Jepang favorite gue dan Ken.

"Gue mau ngomongin sesuatu,Rin" suaranya terdengar serius, lalu dipotong oleh pelayan restoran ini "ini mas, mba pesenannya kanimentaiyaki dan ocha dinginnya dua" sahut pelayan itu saat mengahmpiri kami berdua seraya membawa pesanan kami.

Setelah berterima kasih gue pun langsung menanyakan Ken kembali "Hmm? Mau ngomongin apa Ken?" Sambil meneguk ocha dinginku.

Belum sempat Ken meyampaikan apa-apa

Drttt... drrtt.

"Sebentar ya," gumaman gue setelah akhirnya pergi sedikit menjauhi meja kami.

"Halo?"

"....."

"APA?! SERIUS?! OKE OKE GUE KESANA SEKARANG." Suara gue setengah berteriak, membuat semua orang didalam restoran itu menoleh kepada arah suara itu.

"Gue denger percakapan lo tadi ditelfon, oke kasih gue alamatnya dan cus kita pergi," ucapnya sambil merangkul pundak gue. Gue tersenyum, refleks. "Ayok, kita buru-buru, Ken" sambil mengangguk kecil, mengerti apa yang baru saja dia katakan.

Keheningan menyelimuti mobil tanpa atap milik Ken, Gue berdeham lalu memecahkan keheningan "Maaf ya Ken, kita ngomongnya jadi ketunda". "Santai aja, Rin. Gue bakal nungguin lo sampe kapanpun," ucapnya sambil mengembangkan senyum di wajahnya, kok bisa ya orang setampan Ken pengen jadi teman gue, suara hati gue yang merendahkan diri sendiri, padahal gue cantik juga toh. Kepedean asli.

Tadi Ken bilang? "Gue bakal nungguin lo sampe kapanpun" ya ampun, Irene Natasha, kamu ini harus bangun. Gumam gue dalam hati.

"Kita udah sampe," gumamnya sambil menurunkanku di Lobby Rumah Sakit sambil mengelus puncak kepala gue. "Makasih ya Ken," ucap gue sambil berlari kecil ke resepsionis sambil melambaikan tangan.

"Mba, kamar 313 dimana ya?" pertanyaan yang muncul setelah gue tiba di resepsionis
"Ohh, atas nama mba Velani Audrey bukan?" Tanya perawat itu balik.
Velani? Oh itu. "Iya mba iya, Velani" ucap gue agak tidak meyakinkan. Membuat perawat itu mengerutkan dahi.

***

"Jadi lo udah tau duluan,Rin?" tanya Mikaela John, sahabat gue yang tempo hari gue belum sempat kenalin. Anggukan semangat gue yang membuat semua orang menggeleng.

"Sini ceritain dongs," ujar Alvaro meniru cara bicara Mika, yang langsung dibalas Mika dengan daratnya lima jari dipunggung tangannya Alvaro, ringisan Alvaro terdengar sampai ke koridor rumah sakit.

"Ingatkan pas kita buat tugas dirumah Veli 3 bulan yang lalu?, sebenarnya gue udah tau dari sana"

Setelah menyapa bi Imah dan bergegas ke halaman, Gue sengaja jalan agak lambat, membuat Alvaro berjalan mendahuluiku.

Gue akhirnya memasuki ruangan dengan TV LED diikuti dengan home theatre dibawahnya, ini pasti ruang keluarganya Veli, pikir gue sambil menatap sekitar.

Setelah menatap lebih lama, gue menyadari satu hal yang mungkin tidak banyak sahabat gue sadari, ternyata ada kamar bercorak hitam putih dibelakang bar kecil rumah Veli.

Entah apa yang membuat kaki gue berjalan menuju kamar itu, setelah perlahan berhasil membuka pintu kamar itu, gue terkejut karena banyaknya lukisan-lukisan yang jika diperkiraan harganya bisa memasuki enam nol! Yes, ratusan juta rupiah.

Lama gue tatap lukisan lukisan yang gue kira tidak akan habis, sampai satu bingkai kini bukan lukisan, melainkan foto keluarga Veli.

"Om Andre.. Tante Jenna.. Veli.. dan?" Kata-kata gue terputus saat melihat dua anak kecil itu KEMBAR! Gue berjalan mundur dan segera meninggalkan kamar itu, sambil berlari ke halaman, ternyata Alvaro belum sampai di halaman. Nasib gue memang baik, karena Alvaro pergi ke toilet sebentar.

"Gue sebenarnya agak lancang masuk ke kamar orang sembarangan" gumam gue penuh penyesalan.

"Jangan ngomong gitu,Rin. Dan namanya Velani Audrey," gumam seseorang seusai gue bercerita, kami semua menoleh kepada pemilik suara itu, Veli. "Gue sama dia dipisahin sejak umur 6 tahun, karena setelah papa kamu bercerai, Mama pergi ke Amrik membawa Lani, sedangkan gue dan papa tinggal di Indonesia," isakkannya terdengar jelas. Kami semua mencoba untuk menenangkannya, "Udah, sekarang kita berdoa aja biar Velani cepat siuman," ucap Aditya sambil mengelus pundak Veli. Langsung dibalasnya dengan anggukan kecil, isakan tertahan yang masih terdengar oleh kami semua.

"Makasih ya ,guys" ucapnya melebarkan senyumnya seraya menghapus bulir airmata yang masih tersisa dipipinya. "Udah, jangan ngomong gitu, toh kita apa gunanya kalau bukan bantu lo?" Ujar Alvaro menenangkan Veli, setidaknya sedikit.

___________________

Vote and comment ya! Jangan lupa buat support author terus sehubung ini cerita pertamanya Author <3 "i'm glad it was you"

Sincerely,

Author🍃

I'm glad it was youTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang