04 Kenalan

63 14 29
                                    

Senin pagi.

Hari di mana murid-murid kembali masuk ke ke sekolah. Begitu juga dengan Rayan. Ia kini sedang mengancingkan seragamnya, lalu merapikan dasinya. Ia menghela napas lelah. Dua hari yang lalu Rayan di suruh menjemput Karel, kemarin juga ia disuruh untuk menemani Karel jalan-jalan sebentar. Dan sekarang, ia mulai masuk kembali ke sekolah yang membuatnya lelah.

Di sisi lain, Raya yang baru saja selesai mandi mendengar nada dering dari ponselnya. Ia mengambilnya, lalu melihat nama si penelepon. Raya berdecak ketika melihat Rayan yang meneleponnya.

Raya mengangkatnya dengan sebelah tangan mengambil sisir. "Kenapa, Yan?"

"Gue udah nunggu di depan rumah lo. Cepetan. Sarapannya di sekolah aja, bareng gue," ucap Rayan di seberang sana.

Belum sempat Raya membalas ucapan Rayan, telepon sudah tertutup. Raya mencebikkan bibirnya. Selalu saja jika Rayan yang menelepon tidak lebih dari satu menit. Sangat berbanding terbalik dengan dirinya. Jika ditanya alasannya ia akan bilang 'kata papa, gue nggak boleh boros ngeluarin uang. Makanya gue menghemat uang sekaligus pulsanya, biar tahan lama. Seenggaknya bertahan semingguan,'

"Raya, cepat turun! Cowok lo udah nunggu di depan!" Teriak Ghea dari bawah.

"Dia bukan cowok gue, Ghea," ucap Raya yang sudah turun sambil memasang sepatunya.

"Serah lo, deh. Sarapannya nanti di sekolah aja sama cowok lo," Ghea langsung tersenyum tanpa rasa bersalah setelah sadar Raya sudah menatapnya dengan tatapan datar.

"Oiya, Ray. Besok malam kita diajak Ayah buat makan malam bareng buat nyambut Gia yang baru datang. Gue mohon kali ini lo harus datang,"

Ucapan Ghea sontak membuat langkah Raya yang ingin keluar dari rumah terhenti. Makan malam? Dengan Ayah? Mungkin dulu ia pernah memimpikan hal itu, tapi sekarang? Ia tak yakin apakah mimpi itu masih ada.

Raya mengepalkan tangannya ketika mengingat kalimat kedua terakhir Ghea. Nyambut Gia yang baru pulang? Raya berdecak pelan. Jika saja Gia kemarin tidak pulang, apakah beliau akan mengundangnya? Jangan 'kan mengundang, untuk menemuinya saja sudah sangat susah.

Raya berbalik menatap Ghea, ia tersenyum sinis, "bilang ke Ayah kalau gue akan datang,"

Raya ingin tahu, bagaimana suasana bahagia keluarga itu yang takkan pernah dirasakannya lagi. Kali ini, ia akan datang untuk menyaksikan kebahagiaan keluarga itu. Ia ingin melihat, apakah Ayahnya akan sebahagia ketika beliau bersama keluarganya yang dulu?

Raya keluar dari rumah dengan mood yang buruk, namun ia berusaha untuk menutupinya. Ia menatap Rayan yang sedang bersandar di mobilnya sambil bersedekap. Cowok itu juga sedang menatapnya. Raya langsung mengalihkan tatapan dari Rayan.

"Masuk, gih," ucap Rayan saat Raya sudah berjalan mendekatinya. Raya hanya mengangguk.

Di perjalanan, tidak ada yang memulai pembicaraan. Baik Raya maupun Rayan, keduanya sama-sama diam.

"Tumben nggak ngomong," Rayan membuka pembicaraan setelah keadaan hening yang cukup lama.

"Emangnya gue dulu yang harus ngomong?" Tanya Raya.

Rayan mengangguk, "yah dari dulu 'kan elo yang selalu ngomong duluan. Kita bisa sedekat ini karena dulu lo yang terus nyerocos ke gue," ucapan Rayan mampu membuat Raya kembali mengingat bagaimana dulu ia mulai dekat dengan cowok itu.

Raya tersenyum sendiri mengingat dulu hanya dirinya saja yang berbicara, mulai dari hal yang penting hingga hal yang tidak penting. Sementara Rayan hanya mendengarkannya tanpa mau ikut dalam obrolan. Namun, seiring berjalannya waktu, cowok itu akhirnya mau berbicara dengan Raya dan bisa sedekat ini sampai sekarang. Dan entah kenapa ia merindukan masa itu.

Raya RayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang