08 Pilihan (2)

40 11 38
                                    

"Lo punya rumah? Kenapa ikutin gue terus?" Rayan yang daritadi menyadari Gia mengikutinya, membalikkan badannya dengan kesal saat mereka sudah sampai di ayunan rumah Rayan.

"Yan, tolong kasih gue waktu buat menjelaskan semuanya ke lo," lirih Gia. Ia sudah cukup lelah menghadapi sikap Rayan yang acuh tak acuh daritadi. Rayan yang dikenalnya bukan seperti ini.

Rayan bersedekap, menatap Gia dengan intens. "Oke. Jelasin ke gue,"

Gia tersenyum sekilas, akhirnya cowok itu mau mendengarnya. "Gue tahu lo kehilangan banyak orang yang lo sayang dua tahun lalu. Mungkin termasuk gue yang tiba-tiba pergi, dan ninggalin lo dengan rasa sakit. Tapi gue punya beberapa alasan buat pergi, Yan.

Alasan pertama, karena gue belum siap buat nerima orang baru di keluarga gue. Mama sama papa gue baru cerai tiga minggu, tapi mama udah mutusin buat nikah. Gue sebagai anak tertekan dengan situasi ini.

Alasan kedua, nenek gue sakit parah di sana. Beliau tinggal sendiri, Yan. Cuma gue cucu yang dibesarkannya selama sspuluh tahun. Gue nggak bisa biarin nenek gue sakit parah, apalagi beliau sendiri. Gue takut kalau nenek gue pergi, nggak akan ada lagi tempat buat gue bersandar."

Rayan menatap Gia yang menundukkan kepalanya, sepertinya cewek itu berusaha untuk menahan tangisannya.

"Gue kira dengan gue pergi, gue akan ngelupain lo. Tapi kenyataannya susah, Yan. Gue nggak bisa lupain lo. Gue tahu gue egois dan nggak punya malu buat datangin lo lagi kayak gini. Tapi kalau lo jadi gue, pasti lo bakal ngelakauin hal yang sama kayak gue," Gia memegang tangan Rayan yang tidak memegang kantung plastik.

Perlahan, air mata Gia menetes. "Gue masih sayang sama lo, Yan," lalu gadis itu menarik tangan Rayan untuk memeluknya.

Gia memeluk Rayan dengan erat, "kasih gue kesempatan. Kasih gue satu kesempatan buat perbaiki semuanya," ucap Gia dengan sesenggukan.

Rayan hanya diam. Tidak membalas, dan tidak pula menolak. Ia bingung. Namun, ia ingat perkataan papanya. Kalau perempuan sedang sedih, harus dipeluk dan dihibur.

Perlahan, tangan Rayan membalas pelukan Gia. Ia menepuk pelan pundak perempuan itu. "Jangan nangis," bisiknya pelan.

Rayan telah menyadari keberadaan Raya saat itu, dan entah kenapa perasaannya menjadi gelisah.

➰➰➰

Rabu pagi, di mana Rayan telah memikirkan matang-matang pilihannya. Ia berusaha meyakinkan pilihan yang dipilihnya benar.

Ia mengambil tas, dompet, dan kunci mobil untuk berangkat ke sekolah.

"Ma, Oscar, Rayan langsung berangkat ya. Assalamu'alaikum," teriak Rayan langsung keluar dari rumah.

"ABANG MAKAN DULU," namun, teriakan Kanya tak direspon oleh Rayan.

Rayan berjalan menuju garasi untuk mengambil mobilnya, dan memberhentikannya tepat di depan rumah Raya. Cowok itu mengambil ponselnya untuk menelpon Raya, namun sebelum ditelepon, Raya sudah keluar dari rumahnya, dan langsung memasuki mobil sahabatnya.

"Tumben cepat. Kangen ketemu gue ya?" Lagi-lagi Rayan menjahili Raya.

Raya mengerlingkan matanya, "Yan, ini masih pagi. Nggak baik godain anak cewek pagi-pagi. Ntar payah ketemu jodoh lo,"

Rayan terkekeh. "Nggak bakal payah, orang jodohnya di samping gue," ucapnya santai, dan membuat jantung Raya berdetak lebih cepat.

"Dih, ogah gue jodoh sama lo," Raya bergidik. Sangat berbanding terbalik dengan kata hatinya.

"Hati-hati, Ray. Berulang kali gue bilang ke lo. Kalau suka sama gue, gue nggak tanggung jawab. Bisa aja satu menit kemudian lo suka sama gue,"

Perkataan Rayan membuat Raya yang sedang memakan roti lapisnya tersedak, membuat cowok itu dengan cepat menoleh.

Rayan memberhentikan mobilnya, mengambil botol minum, lalu memberikannya pada Raya yang langsung diterima oleh cewek itu.

Raya meneguk air itu sampai setengah, kemudian mengembalikan pada pemiliknya.

"Makanya, kalau mau makan tuh bagi-bagi. Biar lo dapat pahala, dan gue kenyang," Rayan mengambil satu roti lapis dari tempat makan Raya.

Raya mencibir. "Lo 'kan bisa makan di kantin,"

Rayan menunjuk dirinya. "Gue? Oh, sori. Gue nggak mau sarapan lagi di sana. Kapok gue. Sakit perut gegara makan nasi uduk,"

Raya tertawa, "makanya, siapa suruh ngasih cabe banyak-banyak. Yang salah tu elo, bukan nasi uduknya," ucap Raya sambil menepuk bahu Rayan.

Melihat Raya yang tertawa membuat Rayan tersenyum. Ia rela melakukan hal konyol sekalipun untuk membuat gadis itu tertawa seperti ini. Rasanya menyenangkan kala melihat orang itu bahagia walau hanya sementara.

"Ray," panggil Rayan pelan.

Raya menoleh ke arah Rayan. Gadis itu tidak tertawa seperti tadi, dan entah kenapa itu membuat Rayan agak takut untuk menyampaikannya. Seperti telah melakukan hal yang paling buruk.

"Gue udah nentuin pilihan yang semalam,"

Raya menaikkan alisnya. "Oh ya? Secepat itu?"

Rauan mengangguk. "Sesuai pendapat lo semalam. Gue ngikutin kata hati gue,"

Raya tersenyum. "Bagus. Lo pilih pilihan ke berapa?" Tanyanya, tersirat di dalamnya ada nada cemas sekaligus penasaran.

Rayan ikut tersenyum. "Gue pilih yang pertama,"

Samar-samar, senyum Raya perlahan menghilang. Namun, dengan cepat ia menepisnya. Berpura-pura bahagia untuk menutupi sakit di dalamnya.

'Lo emang hebat bikin gue melayang tinggi, trus jatuh sedalam-dalamnya, Yan,'

"Bagus. Biar gue tebak, pasti pilihan pertama lo itu Gia. Iya 'kan?" Tebak Raya berusaha antusias, dan diikuti anggukan oleh cowok itu.

"Iya. Lo tau pilihan kedua gue siapa?" Tanya Rayan, ada sedikit nada cemas di dalamnya, takut kalau ketahuan oleh cewek itu.

Raya mengangkat bahunya, berusaha tidak peduli. "Nggak. Nggak usah dikasih tau ke gue. Lagian lo nggak milih dia juga 'kan?" Kata Raya sebisa mungkin untuk terlihat santai, walau ia telah mengetahui semuanya.

"Oke, gue nggak akan ngasih tau ke lo,"

'Tanpa lo kasih tau pun gue udah tau, Yan. Karena cewek yang  deket dengan lo cuma gue dan Gia selain adik dan mama lo,' batin Raya.

Namun, di sisi lain, ada sebersit rasa senang di dalam hatinya karena Rayan mulai nyaman sengannya. Tapi hal itu segera ditepisnya bahwa itu cuma hal biasa. Ya, hal biasa yang dirasakan antar sahabat.

"Oi, ngelamun aja lo," ucapan Rayan berhasil membuat Raya kembali sadar dari lamunanya.

"Sori. Lo ngomong apa tadi?" Tanya Raya.

"Gue rencananya mau bilang ke Gia buat ngasih dia kesempatan satu kali lagi. Rencananya sih sore. Lo tau 'kan rumah dia di mana?" Tanya Rayan membuat Raya kembali terdiam beberapa detik.

"Gia nggak di rumah sore ini. Dia manggung di kafe tempat gue kerja," ucap Raya pelan.

Rayan menoleh cepat ke arah Raya, "lo kerja lagi? Kapan mulainya?" Tanyanya bingung.

"Hari ini. Gue bakal bantu lo sore nanti," Raya langsung mengalihkan pandangan ke kaca mobil, tidak ingin dilihat Rayan bahwa ia sedang menahan air matanya.

'Dan semoga lo benar-benar bahagia, Yan,'

.

.

.

Senin, 18 Juni 2018

Double up? Wkwk iya. Aku mau up nya double karena kemarin-kemarin nggak up ;) semoga kalian suka ya sama ceritanya. Beberapa chapter ini dan seterusnya emang nyesek ya, wkwk. Walaupun gitu, tetep baca terus ye :))

Jangan lupa juga vote dan komennya ya, oke :))

Salam sayang, Kitochikato 😙

Raya RayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang