06 Bantuan

46 12 35
                                    

"Gimana sekolah kalian?" Tanya Ayah membuka perbincangan saat makan malam pada kedua putri kandungnya.

"Baik, Yah. Nggak ada masalah," jawab Ghea singkat, lalu melirik Raya yang tampaknya tidak berniat untuk menjawab pertanyaan Ayahnya.

Pria paruh baya itu tampak menganggukkan kepalanya. Ia menatap Raya yang duduk di samping Ghea. Anak bungsunya itu masih menutup diri darinya. Bahkan ia tidak mau menatapnya.

"Raya mau tambah? Ini ayam kesukaan kamu masih banyak," ucap Mama tiri Raya.

Raya tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Aku nggak suka ayam. Aku suka bakso," katanya pelan.

Mama tampak gelagapan, "eh, maaf. Mama kira kamu suka. Kapan-kapan kita buat bakso ya,"

"Aku bisa beli sendiri," balas Raya. Ghea dengan cepat menyenggol sikut Raya yang dibalas tatapan bingung oleh adiknya.

"Maaf, Ma. Raya emang blak-blakkan kalau ngomong," Ghea meminta maaf.

Mama tersenyum, "nggak papa. Besok mama buatin baksonya ya, nak. Jangan beli terus,"

Raya hanya diam mendengarkan, tanpa mau berbicara lagi.

"Gia nggak dimakan makanannya?" Tegur Ayah membuat Gia tersentak kaget.

"Eh, iya Yah. Ini Gia mau makan," ucap Gia sambil menyuapkan nasi ke mulutnya.

Gia tadi memikirkan kejadian tadi sore, saat ia melihat Rayan dengan Raya. Sebenarnya apa hubungan mereka? Gia langsung menatap Raya yang memakan nasinya dengan pandangan kosong. Apa mungkin mereka pacaran? Gia langsung menggeleng. Ia harus bertanya pada Raya setelah makan malam.

Jauh di dalam lubuk hatinya, ia tidak menginginkan hal itu terjadi.

➰➰➰

Raya berdecak kagum saat melihat ruangan yang ada di hadapannya. Setelah makan malam, Gia langsung mengajaknya ke ruangan tempat ia sering bermain piano.

"Lo suka piano, Ray?" Tanya Gia saat mereka masih berdiri di ruangan tersebut.

Raya menoleh pada Gia, lalu mengangguk antusias. "Suka. Tapi nggak bisa maininnya. Gue cuma bisa denger aja," ia terkekeh saat mengucapkan kalimat terakhir.

Gia tersenyum tipis, lalu menuntun Raya ke piano miliknya. Kini, mereka berdua duduk di depan piano. Jari-jari Gia mulai memainkan tuts-tus piano dengan melantunkan sebuah lagu.

Raya hanya terdiam sambil mendengarkan alunan piano yang dimainkan Gia. Sangat indah dan lembut. Andai ia bisa memainkan piano, pasti Raya akan memainkannya setiap hari sampai jari-jarinya sakit.

Beberapa menit kemudian, Gia telah selesai memainkan pianonya. Ia menatap Raya yang langsung bertepuk tangan sambil tersenyum. Senyum itu belum pernah dilihat oleh Gia sebelumnya. Senyum itu tampak tulus.

"Wah, keren Gi. Ternyata nggak sia-sia lo sekolah jauh. Kapan-kapan ajarin gue ya," komen Raya bersemangat.

Gia tersenyum, ia menatap Raya yang masih takjub dengan permainannya tadi. Apakah ia akan mengatakannya sekarang?

"Raya," Gia berucap pelan sambil menatap saudari tirinya yang dibalas gumaman oleh Raya.

"Lo," ucapan Gia menggantung.

"Ya?" Ucap Raya gak sabaran.

"Benci sama gue?" Setelah ucapan Gia terlontar, Raya terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. Ia menatap Gia yang juga menatapnya.

Raya tersenyum kecil. "Gue nggak benci sama lo. Mungkin lo bingung sama sikap gue yang berubah-ubah ke lo, gue minta maaf. Kasih gue waktu buat nerima lo dan yang lainnya. Gue bukan orang baik yang bisa nerima apapun cobaan dengan mudah. Jadi, lo ngerti 'kan maksud gue, Gi?" Jelas Raya.

Raya RayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang