19 Menjauh

42 8 56
                                    

Raya menggenggam tangan Ayahnya yang masih belum sadar. Ghea melihat Raya yang daritadi duduk di samping Ayah. Ghea menepuk bahu Raya. "Makan dulu, dek."

Raya melihat Ayahnya sekilas, lalu menganggukkan kepalanya. Cewek itu bangkit dari kursi, dan berjalan menuju kantin rumah sakit.

di lorong, Raya melihat Gia dan Mamanya berjalan kearahnya. Mama Gia tersenyum ramah, membuat Raya membalasnya dengan senyum kecil. Saat jarak mereka sudah dekat dengan Raya, Mama Gia berkata, "Makasih ya udah jagain Papa kamu."

Raya tersenyum. "Sama-sama tante. Lagian beliau 'kan Ayah aku juga," katanya. Raya yakin kalau basa-basi ini akan segera berakhir.

"Yaudah. Tante sama Gia duluan ya."

"Mama duluan aja. Gia ada urusan bentar dengan Raya," ucap Gia sambil tersenyum. Mama Gia mengangguk, lalu kembali berjalan ke ruangan tempat suaminya dirawat.

Setelah Mama Gia pergi, Gia menatap Raya sambil bersedekap. "Gimana hari ini? Rayan ada datang ke sini?" Tanyanya.

Raya mengernyit bingung, untuk apa Gia menanyakan Rayan pada Raya? Gia 'kan bisa langsung menanyakannya langsung pada cowok itu. "Enggak. Lo 'kan bisa nanya langsung ke dia."

Gia terkekeh. "Gue udah putus. Lagian gue nggak butuh cowok yang udah suka sama orang lain. Eh, salah, bukan orang lain, tapi sahabatnya sendiri, maybe?" 

Raya tertegun. "Maksud lo...,"

"Gue sama Rayan putus karena lo, Ray. Rayan suka sama lo. Coba aja dulu lo nggak ketemu sama dia, pasti gue nggak akan putus sama dia," ucapnya meninggi.

Raya mengernyit tak suka. "Apaan sih, Gi?! Kok lo malah nyalahin gue? Kalau Rayan suka sama gue, kenapa gue yang disalahin? Jangan kayak bocah lo," balas Raya jengkel.

"Lo juga suka 'kan sama Rayan? Nggak usah munafik, Ray. Kelihatan jelas rasa nyaman lo ke dia lebih dari teman. Sampai kapan pun lo nggak akan bisa sama dia."

"Iya gue suka sama dia. Gue juga nggak minta dia balas perasaan gue. Rasa suka itu wajar. Yang nggak wajar itu rasa suka yang mulai tumbuh jadi obsesi, kayak lo," tunjuk Raya. Ia tidak mau kalah bedebat dengan Gia.  

Gia mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya. Ia berjalan mendekat kearah Raya, lalu membisikkan sesuatu. "Pokonya, kalau gue nggak bisa sama Rayan, lo juga nggak akan bisa." Setelah itu, Gia berlalu dari hadapan Raya.

"Jangan bilang lo udah ngasih tau semuanya ke dia." 

➰➰➰

Pagi selasa, Raya kembali sekolah seperti biasa. Ia belum sempat kembali ke rumah. Baju seragam, dan tas sudah diantar Ghea kemarin. Rayan juga tidak mengabarinya. Mungkin memang benar dugaannya kalau Gia sudah memberi tahu semuanya ke Rayan.

Saat sampai di kelas, Raya melihat bangku di belakangnya masih kosong. Ia menghela napas pelan.  Apakah Rayan akan menjauhinya setelah tau semuanya. Mungkin cowok itu marah padanya karena tidak menceritakannya lebih dulu, dan malah mendengarnya dari orang lain.

Belum lama Raya duduk, Karel dan Rayan datang. Raya yang melihat itu sedikit kaget. Sejak kapan mereka baikan? Raya juga melihat Rayan yang belum melirik ke arahnya.

"Yan, kayaknya comut diliatin Raya, nih," bisik Karel pada Rayan saat mereka berjalan ke bangku masing-masing.

Alis Rayan mengerut. "Raya udah sekolah? Comut? Apaan tuh?" Tanyanya bertubi-tubi.

Karel menghela napas, lalu memegang kepala Rayan yang menoleh padanya ke arah Raya yang sedang menatap mereka bingung.

Saat tatapan mata mereka bertemu, Raya tidak mengalihkan pandangannya, membuat Rayan terkekeh dan melempar kiss bye padanya. Melihat tingkah Rayan yang seperti itu membuat Raya mendengus geli.

Raya RayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang