22 Pergi

60 9 60
                                    

"Ma, aku berangkat dulu." Rayan langsung keluar dari rumah tanpa sarapan, membuat Kanya menggeleng tak habis pikir dengan jalan pikiran Abangnya.

Pagi ini, Rayan bangun kesiangan. Dari sekian banyaknya hari, kenapa harus hari ini ia kesiangan?

Rayan melirik jam tangannya. Pukul enam lewat tiga puluh lima menit. Sebentar lagi Raya berangkat. Dan perjalanan dai rumahnya ke bandara sekitar setengah jam lebih.

Cowok itu memutuskan untuk melihat Raya dulu, baru pergi ke sekolah. Itupun kalau Karel memaksanya masuk.

Rayan menghubungi Karel yang juga akan ikut dengannya. Kemarin, saat ia telah mengantarkan Raya sampai ke rumah, Rayan sempat mengobrol sebentar dengan Karel tentang kepergian Raya yang menurutnya sangat mendadak.

"Rel, lo di mana?" Tanya Rayan langsung saat Karel mengangkat teleponnya.

"Gue lagi di jalan. Macet nih, Yan. Lo udah sampai?"

Rayan berdecak. "Gue masih di jalan juga. Bangun kesiangan tadi. Kalau lo udah sampai telfon gue." Tanpa mendengar jawaban dari Karel, Rayan langsung mematikan sambungan telepon.

Rayan menginjak gas dan menambah kecepatannya dua kali lipat. Ia harus sampai ke bandara tepat waktu.

➰➰➰

Raya berjalan pelan sambil mendorong kopernya. Hari ini ia akan meninggalkan negara kelahirannya. Surat kepindahan dan segala macamnya sudah diurus Ghea. Raya hanya tinggal berkemas, dan berangkat.

Di depannya kini ada Ayah, Ghea, Mama tirinya, Gia, dan Pamannya. Walaupun kondisi Ayah belum stabil, beliau tetap ingin segera pergi dan cepat sembuh. Raya bersyukur beliau mau memaafkannya. 

Disamping itu, Raya harus meninggalkan Rayan dan yang lainnya. Jauh di lubuk hatinya, Raya berharap cowok itu datang untuk melihatnya terakhir kali. Karena entah berapa tahun lagi Raya akan kembali ke sini. Atau bisa jadi ia tidak akan pernah kembali.

Ghea menoleh ke belakang, dan mendapati Raya yang sedang berjalan sangat pelan. Sepertinya adiknya itu tengah memikirkan sesuatu.

"Raya," panggilnya.

Raya mendongak ke depan, menatap Ghea yang mengisyaratkan agar mendekat padanya. Raya berjalan agak cepat ke arah Kakaknya.

Ghea menghela napas ketika melihat Raya yang berjalan masih lambat. gadis itu menghampiri Raya, dan mensejajarkan langkahnya.

Ghea merangkul bahu adiknya. "Kenapa?"

Raya terdiam. Tidak tahu apakah ia harus menceritakannya atau tidak.

"Biar gue tebak. Pasti lo lagi nunggu Rayan 'kan?"

Dan, tebakan Ghea selalu benar.

Raya mengangguk. "Berapa menit lagi Kak?" 

Ghea melirik jam tangannya sekilas. "Bentar lagi. Sebaiknya lo siap-siap aja."

Raya menghembuskan napas pelan. Mungkin kemarin adalah pertemuan terakhir mereka.

➰➰➰

Rayan menepikan mobilnya dengan asal. Ia langsung keluar dari mobil, dan berlari memasuki bandara.

Rayan celingukan mencari keberadaan Raya. Matanya tertuju pada jadwal penerbangan yang sudah tertera. Seketika bahunya lemas karena pesawat yang ditumpangi Raya sudah lepas landas.

"Rayan." Sebuah suara menginterupsi di belakangnya. Rayan menoleh ke belakang, dan ternyata itu adalah Ghea.

Ghea tersenyum ramah. "Raya baru berangkat. Kira-kira lima menit lalu," ucapnya.

Raya RayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang