Jangan lupa Vote and Comment ya temen-temen ❤️
Berarti banget responnya buat tulisan abal-abal ini ❤️
Selamat menikmati❤️***********************
Alvino Pradipta A (Pov)
Bau-bauan rumah sakit mulai membaur dalam indera penciumanku. Aku mendengar suara-suara yang kurang jelas, kepalaku juga sedikit sakit—terutama di bagian tengkukku. Sial. Aku berusaha membuka mataku namun terasa sulit dan berat sekali. Aku merasakan ada yang menggenggam tanganku erat. Siapa dia? Natha kah?
"Dokter! Tangannya bergerak! Dipta siuman, Pa!" teriak suara itu lagi. Itu Mama!
Dokter langsung memeriksa keadaanku yang sudah sadar sepenuhnya. Aku hanya memperhatikan orang-orang di sekitar ranjangku. Tadi setelah tersadar—entah dimana—aku jatuh pingsan lagi. Sekarang aku sepenuhnya sadar dan kemungkinan kecil untuk pingsan lagi.
"Ayah, Mama, Papa, Bang Arka, mana Natha?" tanyaku mulai khawatir.
Mama menangis dan memeluk Papa sedang Bang Arka langsung terdiam, dengan sempurna senyumannya lenyap. Sedang Ayah meremas tanganku seakan memberikan seribu kekuatan padaku. "Natha belum ditemuin, Dip. Seharian ini Inspektur Ajun belum memberi kabar. Refran dan Vano pun lagi berusaha memecahkan kasus ini, karena psikopatnya udah berbuat terang-terangan sama kamu." Tenang Ayah padaku.
"Maafin Dipta, Ma. Dipta nggak bisa jagain Natha, Dipta nggak bisa nahan Natha waktu itu." Air mataku mulai menggenang di pelupuk mataku. Ayah langsung memelukku dan menenangkanku.
"Maaf ganggu. Sekarang waktunya Nak Alvin istirahat," kata Dokter yang datang dengan tiba-tiba.
Semuanya mengangguk dan mulai keluar dari kamar. Hanya tersisa Ayah yang duduk di sampingku sekarang. Aku berbaring menatap Ayahku, sama halnya dengan Ayah. Ayah pun menatapku lalu tersenyum.
"Kamu kayak jadi jagoan kecil Ayah lagi, Dip." Senyum Ayah padaku. "Ayah jadi inget Bunda kamu, pasti sekarang ketawa liat kamu yang rela-relain ditendang demi Natha, padahal dulu kerjaannya bikin Natha nangis mulu." Senyum Ayah makin mengembang.
Aku tersenyum salah tingkah, "kan Dipta udah janji sama Natha buat jagain dia, kemarin kan Dipta udah ninggalin dia. Sekarang waktunya Dipta nepatin janji Natha." Helaan nafasku terasa berat. "Ayah tahu? Natha menjadi orang yang pendiam dan menutup dirinya dari dunia luar sejak Dipta tinggalin. Bahkan Natha menyembunyikan identitasnya sebagai anak konglomerat, Natha jadi orang yang nggak dikenalin orang sama sekali, bahkan keberadaannya nggak banyak yang tahu, orang-orang juga nggak sadar kalo barang-barang yang dipakai sama Natha itu barang-barang kelas atas. Natha hanya siswi yang tak kasatmata, tak tampak, dan tak disadari. Itu semua karena Dipta." Lanjutku panjang lebar pada Ayah.
Ayah tersenyum lalu mengusap pundakku pelan, "Ayah nggak pernah ngelarang kamu buat mengikat diri kamu sama siapa pun, melindungi siapa pun, bahkan berkorban demi siapa pun."
"Ayah tenang aja, Dipta nggak merasa terikat kok. Dipta merasa..."
"Sayang sama Natha, kan?" tawa Ayah. Aku terdiam salah tingkah sambil mengusap tengkukku pelan.
Tiba-tiba telfon Ayah berdering. Kami berdua serempak terdiam dan melihat ke arah handphone Ayah yang berdering. Ayah langsung memberi isyarat untuk keluar ruangan. Aku hanya mengangguk menanggapinya.
Sepeninggal Ayah, aku menarik selimutku dan memiringkan tubuhku menghadap balkon. Sengaja pintu ke arah balkon dibuka agar angin masuk berhembus. Namun sekarang, udara terlalu dingin. Aku bangkit dari posisiku dan berjalan mengarah balkon sambil memegangi sebotol cairan infus. Untuk sesaat aku menikmati hembusan angin yang membelai wajahku sampai akhirnya seseorang memelukku dari belakang. Awalnya aku memberontak dan hampir ingin memukulnya sampai yang kuketahui orang yang hampir aku pukul adalah seorang wanita. Kepalan tanganku berhenti di udara dan berganti dengan sedikit sentuhan di pundaknya agar ia mendongak menatapku.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Black Mirrors
General FictionAku Keysha Nathania B. seorang anak SMA yang duduk di kelas sepuluh. Aku sedang berjalan menyusuri koridor untuk menuju ruang kelasku yang notabenenya begitu tidak menyenangkan bagiku. Bukan berarti aku tidak menyukai belajar, hanya saja kelas terl...