Ini aku, Nathan

254 14 0
                                    

Fikson berjalan menembus hujan, kakinya terus melangkah tanpa keraguan. Semenjak kejadian di puncak Mahameru beberapa hari yang lalu, hubungannya dengan Elena tidak terlalu baik. Ada jarak tak kasatmata yang telah memisahkan keduanya.

"Frikson!" panggil seseorang dari belakang.

Frikson menoleh, Sarah berlari kecil dengan payung di tangannya yang terkembang lebar, melindungi tubuhnya dari rintikan hujan. "Sedang main hujan?" kelakarnya. Dia berbagi payung dengan Frikson, namun karena tubuh Frikson lebih tinggi, Sarah jadi kesulitan.

Frikson tersenyum, dia mengambil gagang payung dari tangan Sarah, "itulah mengapa aku tidak suka wanita pendek," ledeknya.  Keduanya kembali berjalan membelah hujan.

"Tapi kalau untuk ukuran wanita, aku termasuk tinggi," sanggah Sarah tidak terima. "Ngomong-ngomong, kamu mau kemana Frikson?"

"Kampus."

"Mau ngapain? Bukannya kamu udah lulus?" tanya Sarah. Frikson yang duduk di tingkat akhir memang sudah lulus kuliah, dia hanya perlu menunggu wisuda dan berkas-berkas kelulusannya seperti ijazah.

"Mau bayar uang wisuda. Kamu makin hari makin bawel ya," gerutu Frikson.

Sarah tertawa, "gak ada kamu jadi gak lengkap, berasa ada yang kurang."

"Aku paham kalau itu, memang aku yang paling tampan di antara Radit dan Jason, mohon bersabar Sarah, ini juga bukan keinginanku." Frikson memasang wajah prihatin.

Tawa Sarah meledak, "bukan karena paling tampan Frikson, tapi kamu yang paling enak untuk dibully."

Frikson ikut tertawa, dia tahu Sarah bercanda. Memang sejak Frikson dinyatakan lulus kuliah, intensitas pertemuan mereka jadi berkurang. Apalagi sejak kejadian di puncak Mahameru, kecanggungan semakin kental di antara mereka.

Frikson melipat payung, mereka telah sampai di stasiun MRT. Keduanya berjalan menuju tempat pemberhentian kereta tujuan Kent Ridge. 

"Setelah ini, kamu mau kemana?" tanya Sarah, mereka sedang duduk menunggu kereta datang. 

Frikson menoleh, "pertanyaanmu ambigu."

"Maksudku setelah lulus kuliah."

Frikson mengedikkan bahu, "aku belum tahu," jawabnya singkat. Tiba-tiba saja dia teringat tentang hubungan Sarah dan Radit, mereka memilih untuk merahasiakannya. Frikson enggan berbagi pada orang yang tidak ingin berbagi juga dengannya. Ini bukan soal materi atau mengharapkan imbalan, tapi lebih pada kepercayaan. 

Sarah menghela napas, ini bukan kali pertama Frikson bertindak demikian. Frikson yang dikenalnya selalu terbuka pada kehidupan pribadinya sekalipun, sekarang sahabatnya itu terkesan tertutup dan enggan berbagi cerita. "Frikson, maafkan aku," ujarnya penuh penyesalan. Dia tahu penyebab Frikson berubah sikap.

"Maaf untuk?"

"Karena merahasiakannya." Sarah menghela napas panjang. "Aku dan Radit belum seserius itu untuk disebarluaskan, kami masih berteman walau sudah jujur dengan perasaan masing-masing."

"Tapi kita sahabat Sarah. Kamu tidak cerita, sama artinya kamu tidak percaya pada kami," tukas Frikson.

"Bukannya aku tidak percaya, aku hanya menunggu waktu yang tepat."

Kereta yang mereka tunggu telah tiba, keduanya masuk ke dalam kereta. Senin pagi memang sepadat ini, Frikson dan Sarah bahkan tidak mendapat tempat duduk di dalam kereta, mereka berdiri dan berdesakan dengan penumpang yang lain. Suasana sangat tidak nyaman untuk mereka melanjutkan pembicaraan. Walau masih ada yang mengganjal di hati, keduanya memilih untuk diam.

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang