Alasan Kepergian

181 14 0
                                    

Frikson masuk ke dalam kamarnya dengan perasaan yang sulit untuk dijelaskan. Dia menghela napas lalu memutuskan untuk mandi walau tadi pagi sebelum berangkat ke kampus dia sudah mandi. Dia perlu berendam di bak dengan busa dan air hangat sambil mengusir jauh-jauh nama Elena dalam pikirannya. Ralat, bukan pikirannya melainkan hatinya.

Diputarnya musik keras-keras dalam kamar mandi. Dihidupkannya keran air panas dan dituangkannya sabun cair lavender ke dalam bak berendam. Frikson membenamkan diri, membiarkan air hangat meregangkan otot-ototnya yang kaku sedari tadi. Kejadian barusan begitu menyakitkan, membekas sampai ke tulang.

"Beginikah rasanya ditolak?" gumamnya sendiri. Dia masih terbayang wajah terluka Elena saat Radit pergi meninggalkannya begitu saja. Tanpa sepatah katapun, tanpa jawaban apapun, Radit justru memberi jawaban yang paling jelas tanpa ucapan. Perbuatan mampu menjelaskan banyak hal di saat perkataan terbatas adanya.

Musik aliran metal melantun dengan kerasnya, berdengung memenuhi ruangan kamar mandi. Frikson tidak begitu suka musik jenis metal, dia lebih tertarik dengan musik kontemporer yang berisi berbagai sentuhan dinamis dan anggun serta penuh keindahan. Namun hari ini, dia coba menyamarkan perasaannya dengan musik keras dan suara pedal drum yang mendominasi. Frikson sengaja, agar kesedihannya kalah suara.

Setelah dirasa cukup, Frikson keluar dari bak lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Frikson merasa lebih segar setelah berendam hampir 1 jam lamanya bersama si ungu lavender. Dia memilih kaos denim dengan celana cokelat selutut untuk dipakai. Frikson menghela napas, perasaan itu akan terkikis seiring berjalannya waktu, dia yakin itu.

Ponselnya berdering nyaring, Frikson lekas mengambilnya dari atas meja. Sederet nomor tertera pada layar benda pipih itu, "halo," sapanya.

"Halo Frikson. Ini aku, Nathan," jawab suara di seberang sana.

"Nathan?" tanya Frikson memastikan. Keningnya berkerut memikirkan nama Nathan yang pernah dikenalnya.

"Piano, saksofon."

Seketika wajah Frikson berubah riang, "Ya ampun Nathan Arumawijaya! Apa kabar kamu? Itu sudah lama sekali." Nathan adalah teman semasa kecilnya. Mereka bertemu di sebuah tempat kursus musik saat masih duduk di bangku SD dan berlanjut hingga SMP.

"Kabarku baik, bagaimana denganmu Frikson Siahaan? Dirimu menghilang setelah lulus SMA. Kamu bahkan tidak pernah pulang." Nathan memutuskan untuk tidak terlalu lama berbasa-basi. Frikson harus segera tahu tentang kondisi Sharon.

Sementara itu Frikson mencium aroma tidak wajar. Dirinya dan Nathan hampir tidak pernah berkomunikasi sejak Frikson memutuskan untuk kuliah di Singapura. Sekarang secara ajaib, Nathan menghubunginya dan mulai membahas ketidakpulangannya selama 4 tahun terakhir ini.

"Ada apa Nathan?" tanya Frikson was-was. Sebenarnya dia ingin lebih lama lagi membahas masa kecil mereka, namun sepertinya Nathan sedang tidak ingin membuang waktu hanya untuk sekedar basa-basi.

"Ini tentang Sharon," Nathan menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk bagian paling mengejutkan yang akan disampaikannya. "Dia berniat bunuh diri. Aku menemukannya nyaris, tidak, bukan nyaris, dia bahkan sudah melompat dari atas jembatan. Beruntung pertolongan datang tepat waktu."

Tubuh Frikson menegang, tenggorokannya tercekat, "Sha ... ron bunuh diri ka ... katamu?" tanyanya tak percaya. Keringat dingin mulai bercucuran, membayangkan sedepresi apa Sharon sehingga berniat menghabisi nyawanya sendiri.

Di ujung sana Nathan mengangguk lemah, seolah anggukannya dapat dilihat oleh Frikson. "Benar, aku tidak bohong. Sharon ada di rumah sakit sekarang, kondisinya sudah membaik." Nathan mendengar Frikson menghela napas lega, dia semakin tidak tega menyampaikan fakta berikutnya. "Yah, walau dia masih terlihat depresi dan terus meracau ingin mati."

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang