Hukuman Bagi Caroline

182 11 0
                                    

Rumah kontrakan itu sederhana, terdiri dari 4 buah kamar tidur, 2 kamar mandi, 1 dapur dan 1 ruang tamu. Nathan menyewa rumah itu karena letaknya yang tidak jauh dari kampus. Jika di bandingkan dengan rumah orang tua Nathan di Jakarta, tentu jauh sekali perbedaannya. Keluarga Arumawijaya memang cukup berada dengan bisnis real estate kepunyaan ayahnya.

"Langsung bawa ke kamar aja Bang," perintah Caroline.

Nathan mengangguk, dia berjalan memapah Frikson masuk ke dalam kamarnya. Kamar Nathan dan Caroline berada di lantai satu, sedang 2 kamar kosong berada di lantai 2. Kondisi Frikson tidak memungkinkan untuk naik tangga. Diletakkannya pelan-pelan tubuh Frikson ke atas kasur.

Frikson meringis kesakitan saat Caroline menyentuh pergelangan kakinya. "Bengkak dan berubah warna," gumam Caroline mengamati. Dia lalu berjalan keluar kamar.

"Sharon, sebaiknya kamu istirahat dulu," kata Nathan

"Tapi Abang,"

"Tenang," potong Nathan, "kita punya tukang urut yang handal," kelakarnya.

Frikson terkekeh di tengah nyeri yang mendera. Dari arah dapur Caroline berteriak, "aku calon dokter Bang, bukan tukang urut! Sembarangan." Yang lain hanya tertawa geli.

Frikson menyentuh pundak adiknya, "lebih baik kamu istirahat Sharon, ingat kamu sedang mengandung."

Sharon mengangguk, dulu dia begitu sensitif mendengar segala hal tentang kehamilan, kata-kata itu mengingatkannya pada dosa perzinahan. Namun sekarang dengan kehadiran Frikson, Sharon mampu berbesar hati menerima segala konsekuensi dari kesalahannya. Mau bagaimana lagi? Anak ini adalah tanggung jawabnya.

Nathan beranjak mengantar Sharon ke lantai 2. Sementara itu, Caroline kembali ke kamar dengan kain berisi es dan perban. "Es ini akan meredakan rasa nyeri dan sakit." Caroline menempelkan kain berisi es batu ke permukaan kaki Frikson yang terkilir. "Lain kali kalau sudah tahu terkilir, jangan dipaksa untuk bergerak atau mengangkat beban."

Frikson hanya mengangguk, dia tidak tahu jika Caroline adalah mahasiswa kedokteran. "Kupikir ini akan sembuh dengan sendirinya."

Caroline menatap wajah Frikson, "apapun penyakitnya, harus ada penanganan yang tepat Bang. Jangan pernah menggampangkan kondisi tubuh, mungkin akibatnya tidak sekarang, tapi siapa yang tahu itu akan berimbas 10 tahun ke depan."

"Akhirnya kau merasakan juga Frikson," timpal Nathan tiba-tiba, dia baru turun dari lantai 2. "Bagaimana rasanya diceramahi Bu Dokter?"

Senyum Frikson terkembang, "tidak begitu buruk."

Nathan duduk di samping Frikson, turut mengamati kegiatan Caroline yang sedang membebat perban. Tangannya terlihat cekatan dan gesit. "Itu kan bukan luka luar, kenapa harus dikasi perban?"

"Ini berfungsi untuk meminimalkan peradangan dan menyangga persendian yang terkilir," jelas Caroline mantap. "Selesai." Caroline menatap hasil pekerjaan tangannya dengan puas. "Ini akan butuh waktu sekitar 3 sampai 7 hari. Selama proses penyembuhan, cobalah untuk tidak membebani kaki yang terkilir dengan dipaksa berjalan atau mengangkat beban.

Frikson mengangguk, dokter yang satu ini begitu posesif pada pasiennya. "Terima kasih Caroline, rasa sakitnya mulai berkurang."

Caroline tersenyum, dia mengambil beberapa bantal lalu ditumpuk. "Nah, letakkan kakinya di atas tumpukan bantal ini."

"Wah, wah, adikku dokter yang hebat rupanya," puji Nathan.

Caroline meringis, belum tahu saja dia betapa putus asanya Caroline dengan segudang jurnal kedokteran yang sama sekali belum disentuh. "Aku permisi dulu, cepat sembuh Bang Frikson."

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang