Pacar Caroline

154 12 1
                                    

Panas terik mewarnai Medan siang itu. Rumah makan tampak ramai dengan pengunjung yang kelaparan menunggu santapan makan siang. Frikson tersenyum penuh wibawa ketika menyapa Clara dan seorang pemuda. Cukup sulit mencari wanita ini di tengah hiruk pikuk restoran di jam makan siang. Untung saja rambut Clara yang dicat warna merah membuatnya mudah ditemukan.

"Frikson Siahaan," ucap Frikson memperkenalkan diri.

"Clara Feroza. Silahkan duduk."

Frikson duduk dengan mata terus menilai wanita di hadapannya. Clara cantik, bahkan tanpa riasan sekalipun dia tetap terlihat menawan. Sebuah ketegasan sekaligus ketangkasan mendominasi dalam setiap gerak tubuhnya.

"Baik, karena semua sudah hadir, kita akan mulai." Pandangan Clara beralih pada layar laptop. "Jangan terlalu tegang, ini bukan interview, anggap saja sebagai obrolan santai." Clara tersenyum, jari jemarinya bergerak lincah di atas keyboard, dia mulai mendeskripsikan dua pria yang sedang duduk di depannya melalui tulisan. Kendati terkesan santai, Clara tetap harus menuangkan segala penilaiannya dalam bentuk laporan. Laporan yang baik berguna untuk dokumentasi di masa datang sekaligus mempermudah pengambilan keputusan. "Oh sampai lupa, ayo sambil dimakan. Jangan malu-malu, saya pesan banyak."

Kedua pria itu tergelak. Metode wawancara macam apa ini? Sudahlah di restoran, disuguhi makanan berat pula. Seumur-umur baru kali ini Erwin mengikuti kelas interview yang melenceng jauh dari yang seharusnya. Berbeda dengan Erwin yang masih melongo heran, Frikson memilih untuk mengambil segelas air putih lalu meneguknya.

"Terima kasih untuk jamuannya." Frikson membuka pembicaraan setelah memuaskan dahaga dengan beberapa teguk air putih. "Anda paham sekali menyelamatkan orang dari kelaparan."

Clara terkekeh lalu menutup laptopnya. "Lebih tepatnya menyelamatkan diri sendiri."

"Tidak boleh menolak berkah, bukan? Tanpa mengurangi rasa hormat saya akan menyantap hidangan ini." Frikson berujar santai sembari mengambil nasi secukupnya dan beberapa lauk yang telah tersaji.

Erwin semakin melongo dengan tingkah Frikson. Mereka sedang wawancara untuk jabatan yang bukan main-main, tapi pria ini malah mengabaikan rasa malu dan basa-basi. Clara justru terlihat tidak keberatan dengan sikap Frikson, wanita itu ikut mengisi piringnya dengan nasi dan lauk pauk yang terhidang. Sekarang Erwin yang terpaku malu, dengan berat hati dia mengekor kegiatan makan siang itu.

"Saya yakin anda berdua sudah paham mengenai jabatan serta ruang lingkup pekerjaan yang saya tawarkan." Clara memulai sesi wawancara di sela-sela makan siang. Dia lebih suka mengamati seseorang dengan cara seperti ini. Situasi mencekam serta penuh ketegangan tidak akan memunculkan sisi yang sebenarnya. "Bagaimana pendapat anda, saudara Frikson?"

Frikson menatap sejenak manik hitam pekat kepunyaan Clara. "Pendapat saya mengenai apa?"

"Perintisan bisnis cafe," sahut Clara sembari memotong ikan mas dengan campuran andaliman.

Frikson meneguk air putih sebelum menjawab. "Bisnis cafe tidak lagi hanya sekedar menjual makanan atau minuman, tapi juga menjual spot foto," jawabnya mantap. "Gaya hidup masyarakat yang konsumtif, yang pertama kali mereka lihat adalah eksterior, interior, harga, lalu rasa."

Clara mengangguk, matanya beralih pada Erwin. Pria itu baru saja selesai makan. "Bagaimana dengan anda? Tempat seperti apa yang yang anda rekomendasikan?"

Erwin tampak berpikir sebelum menjawab. "Di pusat kota. Dengan begitu pengunjung akan mudah menjangkau cafe serta mempermudah pemasaran."

"Strategi pemasaran seperti apa yang anda berdua tawarkan?" tanya Clara lagi.

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang