Kabar Baik

154 8 0
                                    

Frikson menutup pintu kamarnya dengan perasaan lega yang membuncah. Tuhan begitu baik dengan memberinya pekerjaan. Tidak tanggung-tanggung, posisi manager sebuah restoran besar disabetnya cuma-cuma. Di kota besar seperti Medan, mencari pekerjaan dengan ijazah SMA bukan perkara gampang. Hati Frikson masih dipenuhi rasa syukur tak terhingga. Dia adalah tulang punggung bagi Sharon dan calon keponakannya sekarang, Frikson harus bekerja keras menghidupi mereka.

Tiba-tiba terbesit sebuah niat untuk mengambil saksofon kesayangannya dari dalam tas. Frikson mengambil saksofon itu lalu menatapnya sejenak, tepat di ukiran yang terpatri jelas bertuliskan namanya. Frikson menghela napas, pria tua itu mengajarinya cara bermain benda ini, menaburkan mimpi serta kecintaan terhadap musik. Tapi, pria yang sama juga memaksa Frikson untuk menguburnya dalam-dalam.

Diambilnya napas dalam-dalam dan mulai meniup pelan benda berwarna emas itu. Karena sebuah alasan, Frikson harus kembali kehilangan mimpinya dengan meninggalkan tim orkestra kebanggaannya di Singapura. Bisakah dia kembali menjemputnya? Namun kelihatannya mustahil jika Frikson harus memulainya dari nol. Suara saksofon terdengar merobek keheningan malam, Frikson rindu Elena. Frikson rindu kelompok orkestranya.

Suara ketukan di pintu membuyarkan perasaan Frikson. "Masuk," cetusnya.

Sharon melangkah masuk menghampiri Frikson. "Bang."

Frikson menyimpan saksofon penuh kenangan itu ke dalam tas lalu meletakkannya di dalam lemari kayu. "Kenapa belum tidur?"

Sharon terkekeh, "ini baru jam 8 malam dan Abang suruh aku tidur?"

Setelah menyimpan saksofon dia kembali duduk disamping Sharon. "Kamu sedang hamil, harus banyak istirahat."

"Istirahat Bang, bukan tidur. Lagian ini habis makan, masa langsung tidur. Emang kebo?" kelakar Sharon.

Frikson tertawa sambil menggelengkan kepalanya, menatap wajah Sharon yang kemerahan. Adiknya kepalang lugu dan polos untukharus jatuh sedalam ini. Frikson mengenal betul bagaimana adiknya. Sharon tidak mungkin semudah itu menyerahkan mahkotanya sebagai wanita pada pria yang belum sah sebagai suami.

"Sharon," panggil Frikson pelan. Dia hendak bertanya perihal ayah dari bayi dalam kandungan Sharon.

Sharon mendongak, manatap wajah tangguh saudara kandungnya itu. Dia tahu, Frikson menyimpan segunung kebencian pada Ayah. Sejak kepergian Ibu, keluarga mereka harus jatuh bangun dalam berbagai penderitaan dan pertengkaran. Frikson memilih pergi ke Singapura, menghirup udara kebebasan yang selama ini tidak dapat dia rasakan sejak kepergian Ibu.

"Kenapa Bang?"

Frikson tertunduk, mengurungkan niatnya bertanya mengenai ayah dari bayi dalam kandungan Sharon. Adiknya akan bercerita tanpa ditanya jika memang merasa perlu untuk diceritakan. Jika saat ini Sharon belum mau bercerita, maka dia punya pertimbangan lain. Frikson akan menunggu adiknya bercerita tanpa diminta, dia berusaha menghargai setiap keputusan Sharon.

"Besok kita cek kandugan kamu ya," jawab Frikson mengalihkan. Nadanya penuh dengan perhatian yang tulus.

Sekarang giliran Sharon yang tertunduk. Matanya berkaca-kaca menahan agar genangan itu jangan sampai tertumpah. "Abang gak pengen tahu?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Pengen tahu apa?'

"Ayah dari anak ini," ujar Sharon pelan.

Frikson mengusap pundak adiknya. "Ceritakan apa yang menurutmu perlu untuk diceritakan, Sharon. Abang gak akan nuntut."

Sharon tampak menimbang sejenak, ada sedikit keraguan di matanya untuk memutuskan. "Sebenarnya..."

Kalimat Sharon terhenti saat mendengar suara kegaduhan dari luar kamar Frikson. Sepertinya Nathan dan Caroline sedang beradu argumen.

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang