Cinta Tak Bertuan

201 11 1
                                    

Elena berdecak sebal saat mendapati dirinya lupa membawa payung. Hari itu hujan turun dengan derasnya. Elena keluar dari stasiun MRT dan hanya termangu menatap hujan di pinggir jalan. "Bagaimana ini?" gumamnya sendiri. Dia tidak mungkin sampai di kampus dengan pakaian basah kuyup. Belum lagi makalah di dalam tasnya yang hari ini harus dikumpul, dia tidak bisa menembus hujan.

Di tengah pergumulannya, seseorang menghampiri Elena. "Selamat pagi Elena. Butuh tumpangan payung?"

Elena tercekat, tanpa berbalik badan pun Elena tahu milik siapa suara bariton itu, bahkan aroma tubuhnya pun sangat familiar. "Radit, untung kamu datang," serunya sumringah. Secerca harapan muncul saat menatap Radit. Namun beberapa detik kemudian Elena tersadar, "payung kamu mana?"

Radit menggaruk kepalanya, "aku juga lupa," cengirnya.

"Astaga," geram Elena. "Aku telalu berlebihan menganggapmu sebagai pahlawanku hari ini."

Radit tertawa. Hujan datang tiba-tiba, semua orang menganggap pagi ini akan cerah sepanjang hari. Nyatanya hujan datang begitu lebatnya, ditengah musim kemarau yang seharusnya tidak akan ada hujan. "Oh ayolah Elena, hujan adalah berkah. Jangan menganggapnya sebagai musibah hanya karena kita lupa membawa payung."

"Aku akan naik taxi," ujarnya penuh tekad.

"Tempat permberhentian taxi ada di seberang sana," tukas Radit. "Aku jamin ketika kau sampai di ujung sana pakainmu sudah basah kuyup."

Elena semakin menggeram frustasi, makalah dalam tasnya harus segera diserahkannya sebelum jam 10 pagi. Dan sekarang tersisa 5 menit sebelum tepat jam 10. "Sia-sia aku bergadang semalaman," sesalnya sendirian. Radit pergi entah kemana.

Tak lama kemudian Radit kembali dengan selembar kantong plastik besar yang biasa digunakan untuk menampung sampah. Dia mendapatkannya dari petugas kebersihan stasiun MRT. "Mau ikut?" tanyanya pada Elena. Dia mengangkat tinggi plastik besar itu dengan kedua tangannya.

Elena tersenyum manis, "aku ikut." Dia beranjak mendekati Radit, kantong plastik itu melindungi tubuhnya dari hujan.

Keduanya berjalan menuju kampus, butuh sekitar 3 menit untuk sampai disana. Elena menatap wajah Radit yang tampak tenang di bawah naungan kantong plastik sampah. Bahkan di kondisi dramatis seperti saat ini, pria itu tetap terlihat tampan bagi Elena. Tangan Radit yang kekar terangkat dengan gagahnya. Elena terus mencuri pandang hingga kakinya tersandung oleh sebuah lubang saluran air. Radit dengan sigap menangkap tubuh oleng Elena.

"Ya ampun Elena pelan-pelan," desis Radit tajam, ada rasa cemas dalam nada bicaranya. Kedua tangan Radit memapah tubuh Elena yang nyaris terjungkal. Kantong plastik mereka terbang tertiup angin nakal.

Elena tercekat, dadanya berdebar kencang. Tak dipedulikannya makalah dalam tas yang mulai basah diguyur hujan. Rasa yang dipendamnya mulai tak terkendalikan, menjalar dengan liarnya, memakan habis seluruh logika dan integritas, Elena memilih untuk menyatakannya. "Radit, aku mencintaimu," akunya dengan linangan air mata. Tidak ada keraguan dalam ucapannya, melainkan ketegasan atas sebuah kebenaran. "Aku ingin tahu perasaanmu," tambahnya lagi. Mungkin ini adalah hal gila pertama yang dilakukan Elena demi seorang pria, dia rela mengesampingkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Lalu apa yang diharapkannya? Radit mau menerima cinta dari wanita yang bahkan mempertahankan harga dirinya pun tak mampu?

Mata Radit membulat lebar, dengan segera dia melepaskan cengkraman tangannya dari Elena. Dia tidak siap dengan pengakuan yang baru saja didengarnya. Mungkin akan jadi hal mudah jika Elena bukan seorang sahabat baginya, Radit bisa menolak dengan lembut tanpa ada perasaan bersalah yang membayangi setelahnya. Dia sayang, namun rasa itu hanya untuk seorang sahabat, bukan kekasih. Dia sayang, oleh sebab itu dia takut Elena terluka.

Radit memilih untuk pergi, berlari meninggalkan Elena sendirian di tengah hujan. Dia takut salah bicara, oleh karena itu dia memilih untuk diam. Radit tidak ingin melukai Elena lebih dalam lagi. Dia terus berlari menerjang hujan, air matanya mengalir deras. Menyesalkan keberanian Elena mengungkapkan perasaannya. Bagaimana dia akan bertemu Elena setelah ini?

Semantara itu Elena diam terpaku, kepergian Radit menjelaskan banyak hal. Satu hal yang paling jelas bahwa perasaan Elena tidak berbalas. Hatinya hancur berkeping-keping. Tak dihiraukan lagi pakaiannya yang basah kuyup, dia terlanjur sakit hati. Dia masih berdiri memandang punggung Radit yang mulai memudar dalam penglihatannya. Pria itu, Elena sangat mencintainya.

Terngiang candaan mereka di kala senja, waktu itu Elena meledek Radit yang tak kunjung punya kekasih. Aku sedang jatuh cinta pada seseorang, ucap Radit sembari membusungkan dada. Dan kurasa wanita itu punya perasaan yang sama. Elena hanya diam, pura-pura tidak peduli dengan gerangan wanita yang dicintai Radit. Dia sangat percaya diri jika wanita yang dimaksud Radit adalah dirinya. Tapi sekarang dia tahu prediksinya salah besar.

Namun sekarang, kenapa keingintahuan begitu menguasai hatinya? Bukan hanya keingintahuan, tapi juga iri hati. Dia iri pada wanita itu, wanita yang mampu membuat Radit jatuh hati. Elena mengepalkan tangannya, dia benci pada pada wanita itu, wanita yang bagaimana rupanya pun Elena tidak tahu. Dia merebut cinta Radit darinya.

Elena berbalik arah, percuma dia ke kampus. Pakaian dan makalahnya basah kuyup. Belum lagi hatinya yang terluka parah. Dia butuh sendiri walau sekedar untuk meratap. Elena berjalan gontai menuju stasiun MRT. Namun baru beberapa langkah dia berjalan, kakinya terhenti. Dia mengangkat wajahnya yang tertunduk lesu, menatap gerangan pria yang menghadang langkahnya.

Frikson berdiri tegap di hadapan Elena. Tangan kananya memegang tangkai payung sedang tangan kirinya menelusup di balik saku celana. Matanya berkaca-kaca menahan gejolak yang sedari tadi ingin dikeluarkannya. Dia melihat semuanya, semua kejadian yang baru saja terjadi, berputar tepat di depan matanya.

"Bagaimana rasanya Frikson?" tanya Elena pupus. Frikson hanya diam, menatap nyalang pada wanita rapuh di depannya.

Hujan semakin lebat, turun disertai petir yang menggelegar dengan ganasnya. Suasana semakin mencekam, dua hati yang sedang tidak baik-baik saja terjebak di dalamnya. Melebur menjadi satu dalam sebuah keputusasaan, keduanya jatuh di waktu yang sama.

Seorang wanita berlari kecil di belakang Frikson. "Dasar Frikson, cepat kembalikan payungku!" cercanya dari kejauhan. "Teganya kau menipuku huh?" Wanita itu semakin mendekat. Jika semua dalam keadaan baik-baik saja, tentu Elena dan Frikson akan tertawa geli melihat Sarah berlarian di tengah hujan menggunakan payung kecil warna merah muda dengan telinga bulat di atas payung yang bergerak-gerak lucu.

Sarah tiba di dekat Frikson, dia terus mengomel tanpa menyadari situasi apa yang baru saja terjadi. "Ini tidak lucu Frikson, kau menukar payungku dengan payung, astaga, lihatlah payung apa ini? Telinga ini tidak mau berhenti bergerak. Aku benci payung babi, cepat kembalikan payungku Frikson!" gertaknya.

Frikson hanya diam tidak menggubris celotehan Sarah, matanya terus tertuju pada Elena, menatap mata wanita itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Seketika itu juga Sarah tersadar. "Elena?" serunya saat menyadari Elena berdiri dengan wajah pucat tanpa payung. Sarah segera menghampiri Elena, dia ingin berbagi payung namun dia teringat jika payung ditangannya sangat kecil, tidak cukup untuk menaungi dua orang dewasa.

"Frikson, kenapa malah berdiri saja? Elena kehujanan dan kamu tidak mau berbagi payung?" gertak Sarah.

"Tanyalah pada Sarah, dia sangat tahu siapa wanita yang dicintai Radit." Frikson berucap dengan pasti dan tenang. Frikson paham setelah semua ini menjadi jelas, mereka akan saling kehilangan. Lenyap sudah persahabatan yang mereka pupuk selama bertahun-tahun lamanya. Persahabatan yang membawanya keliling dunia untuk konser orkestra sebagai bagian dari mimpinya. Tiba-tiba Frikson merindukan saat-saat itu.

Sarah tercekat, dia tidak mengerti maksud perkataan Frikson, kenapa justru hubungannya dengan Radit harus dibahas di saat genting seperti ini? Elena kehujanan, Frikson tidak bersedia berbagi payung, keduanya bahkan saling melempar tatapan tajam di udara. Firasatnya buruk, sebuah kesalahan baru saja terjadi. Namun apakah cinta adalah sebuah kesalahan? Tergantung bagaimana indvidu mengartikan serta menempatkannya.

Setelah mengucapkan kalimat itu, Frikson berbalik arah lalu berjalan pergi. Berusaha tidak memperdulikan keadaan Elena yang hancur lebur. Frikson juga sama hancurnya dengan wanita itu. Dia tak kuasa menatap lebih lama lagi wanita yang dicintainya dalam keadaan kacau. Binar matanya telah redup, seiring cinta yang dipaksa untuk padam dikala ia bersinar dengan terangnya. Cinta tak bertuan, memang selalu begitu.

***

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang