Saksofon di Malam Hari

151 9 0
                                    

Nathan, Frikson, Caroline dan Sharon kembali berkumpul di meja makan untuk menikmati hidangan makan malam. Caroline menatap lauk pauk serta sayur mayur di meja makan dengan puas. Dia membantu Sharon memasak semua menu makan malam. Ternyata kegiatan memasak cukup menyenangkan untuk dicoba. Caroline bertekad untuk belajar masak pada Sharon.

"Mama pasti bangga kamu bisa masak Dek," puji Nathan sambil mencicipi udang goreng sambal.

"Abang nyindir atau ngejek sih?" tanya Caroline ketus.

"Loh, Abang puji kok. Bentar-bentar," Nathan mengambil ponsel lalu memotret menu di meja makan, dikirimnya foto itu ke group keluarga. "Sebuah keajaiban baru saja terjadi, Caroline masak udang cabe." Nathan mengeja pesan yang dikirim melalui aplikasi berkirim pesan. Tak lama kemudian ponsel Nathan dan Caroline tak henti-hentinya berdering.

Ya Tuhan akhirnya doa Mama terjawab, Caroline bisa masak.

Ma, ternyata anak kita beneran wanita.

Nathan terus tertawa membaca komentar Papa dan Mama. Caroline hanya cemberut di tempat, Nathan memang jagonya menjatuhkan nama baik Caroline di depan Frikson. Tiba-tiba Nathan tersedak, dia terbatuk sambil menepuk-nepuk pelan dadanya. Giliran Caroline yang tertawa terbahak-bahak.

Alih-alih tertawa, Sharon dengan sigap menuangkan air putih lalu menyodorkannya pada Nathan. Diminumnya segelas air putih itu pelan-pelan, batuknya reda seketika. "Makasih Sharon," ucap Nathan teresnyum.

"Iya Bang," jawab Sharon canggung.

"Yah syukurin kualat, makanya Bang lain kali jangan suka ngejek orang yang mau kembali ke jalan yang benar," ejek Caroline di sela-sela tawanya.

"Caroline, abangnya kena musibah malah disyukurin?" tegur Frikson.

Tawa Caroline berhenti seketika, dia melupakan kehadiran Frikson. Caroline merutuki sikapnya, lagi-lagi dia menunjukkan hal buruk di depan Frikson. Harusnya dia segera menolong saat Nathan tersedak, bukan menertawainya. Bagaimana Frikson menilai dirinya sekarang? Suka bangun siang, tidak bisa masak, kekanak-kanakan. Astaga Caroline, habis sudah harga diriku.

***

Frikson duduk di bangku taman setelah selesai makan malam. Nathan kembali ke kamar untuk mengoreksi lembar praktikum yang harus diakumulasikan nilainya besok pagi. Kehadiran Clara cukup menyita jam kerjanya di kampus, Nathan terpaksa membawa pulang lembar yang tersisa. Caroline dan Sharon sibuk membereskan sisa makan malam.

Frikson membaca satu per satu kolom lowongan kerja di koran harian. Akan jadi hal yang mudah jika ijazah beserta dokumen kelulusan sudah ada di tangannya. Sekarang tanpa ijazah sarjana-nya, Frikson hanya bisa melamar sebagai tamatan SMA. Orang tidak akan percaya dia lulusan salah satu pergutuan tinggi terbaik di Singapura tanpa adanya berkas dan legalitas.

"Bang, ini Caroline bikin puding." Sharon datang menghampiri Frikson dengan sepiring puding rasa vanila dengan fla cokelat yang meleleh.

"Makasi." Frikson menusuk satu potongan puding dengan garpu. "Ini enak," gumamnya setelah mencicipi puding itu. Dia mengambil beberapa potong lagi dan memakannya.

Caroline yang berdiri di balik pintu diam-diam tersenyum senang, Frikson menyukai puding buatannya. Besok dia akan membuat lebih banyak makanan untuk Frikson. Caroline melangkah pelan-pelan meninggalkan Frikson dan Sharon. Dia bukan penguntit, Caroline paham jika kedua tamunya butuh privasi. Dia hanya ingin mendengar komentar Frikson tentang puding buatannya.

"Barang-barangmu sudah dibawa semua?" tanya Frikson.

Sharon mengangguk, "sudah Bang. Gak semua sih, yang penting-penting aja."

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang