Wish Me Luck

143 9 0
                                    

Frikson dan Caroline masih duduk di teras rumah saat Nathan datang bergabung. Dia memijat tengkuk kepalanya yang pegal akibat mengoreksi berlembar-lembar kertas praktikum para mahasiswa. Matanya pedih menatap tulisan mahasiswa yang terkadang sulit dimengerti arti dan maknanya. "Padahal udah mahasiswa, tapi tulisan masih kayak cakar ayam," gerutunya sambil mengambil kursi lalu duduk.

Frikson dan Caroline terkekeh geli. "Kadang tulisannya gak jelek-jelek banget, cuma karena dikejar waktu, jadi asal cepat kelar," timpal Frikson.

"Padahal melalui tulisan tangan kita bisa menilai kepribadian mereka gimana. Jelek gak masalah, asal bisa kebaca aja udah syukur. Lah ini, aku sampai semedi dulu baru tahu maskud tulisannya apa," kelakar Nathan.

"Hoaambs," Caroline menguap lebar. "Aku ngantuk."

Nathan mengusap kepala adiknya, "tidur gih, besok bangun pagi bantuin Sharon dong."

Caroline mendengus sebal, tanpa disuruh pun dia sudah berniat bangun pagi dan membantu Sharon, kenapa abangnya ini selalu membuat dia terlihat jelek di depan Frikson? Caroline memasang tampang cemberut. "Selamat malam Bang, selamat malam Frikson." Dia berjalan meninggalkan dua pemuda itu.

"Selamat malam Frikson?" koreksi Nathan setelah Caroline masuk ke dalam kamar.

"Aku yang memintanya, tidak masalah," sanggah Frikson. 4 tahun hidup di negeri orang membuatnya terbiasa dengan memanggil nama termasuk pada orang yang lebih tua sekalipun. "Kau tahu? Caroline beruntung punya kakak sepertimu."

Nathan tersenyum miris, "terkadang aku merasa terlalu keras padanya."

Frikson menyimpan saksofon ke dalam tas hitam. "Setidaknya itu bentuk tanggung jawabmu pada Caroline, suatu saat dia akan mengerti. Lihatlah aku, contoh kakak yang sangat buruk," sesalnya.

Nathan menepuk pelan pundak Frikson, "setiap orang pasti punya kesalahan Frikson, jadilah pemaaf bahkan untuk dirimu sendiri."

Frikson tercenung, kata-kata Nathan mengingatkannya pada Papa. Setiap orang pasti punya kesalahan, Papa bukan Tuhan yang sempurna, dia masih manusia yang bisa jatuh bangun dalam kesalahan. Tapi apa yang telah Papa lakukan benar-benar membekas di hati Frikson hingga hari ini. Bagaimana caranya memaafkan? Frikson ingin sekali belajar.

Frikson tersenyum lemah, "aku berhutang banyak padamu Nathan."

"Aku tidak pernah menganggapnya sebagai hutang," timpal Nathan.

Tawa Frikson terdengar renyah, "oh iya, bisakah tolong katakan pada adikmu bahwa kaki sudah sembuh?"

Nathan mengernyit heran, "memangnya kenapa?"

"Ini sudah sembuh, tidak perlu menunggu sampai satu minggu Nathan, aku perlu pergi mencari kerja," jelas Frikson.

Nathan yang baru paham arah pembicaraan Frikson langsung meledak tertawa. "Itu belum seberapa Frikson, aku bahkan diperlakukan layaknya anak bayi di depan para mahasiswa, padahal cuma batuk pilek."

"Sungguh memalukan." Frikson geleng-geleng kepala. "Tapi wajar sih, dia lagi semangat-semangatnya belajar ilmu kedokteran, pengen langsung berhadapan sama pasien."

"Begitulah Caroline," sahut Nathan. "Nanti akan kubicarakan padanya soal dispensasi kakimu. Ah iya, bicara tentang lowongan kerja, temanku sedang buka cabang usaha restoran dan kafe. Dia butuh seorang manager operasional, kupikir akan bagus jika kau ikut interview."

"Manager? Kau tahu sendiri aku bukan lulusan bisnis, hukum, akuntansi atau sejenisnya. Sudah pasti gak masuk kriterialah," tolak Frikson.

"Tidak, tidak. Clara tidak pernah mengutamakan gelar dan pengalaman, jika memang punya potensi, tamatan SMA pun dia akan terima," jelas Nathan.

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang