Enggar

171 12 0
                                    

Frikson menginjakkan kaki di bandara internasional Kualanamu. Pesawat yang ditumpanginya mendarat dengan sempurna tanpa penundaan jadwal penerbangan. Dipandanginya sejenak pemandangan sekitar bandara, terakhir kali dia berada di tempat ini adalah 4 tahun yang lalu. Saat dia dengan nekatnya pergi meninggalkan Medan tanpa ada niat untuk kembali.

Namun saat ini Sharon sangat membutuhkan kehadirannya. Hati Frikson kembali nyeri ketika mengingat tentang kehamilan Sharon. Tangannya terkepal, siapapun yang berani mengusik adiknya, Frikson akan buat perhitungan. Walau sebenarnya dalam hati terdalam dia berharap semua yang didengarnya dari Nathan adalah kebohongan. Nanti, ketika dia bertemu Sharon, dia akan melihat bahwa adiknya itu pasti baik-baik saja. Mungkin bunuh diri dan hamil adalah karangan Sharon untuk meminta Frikson kembali. Semoga saja.

Frikson hendak menyebrang jalan untuk menunggu angkot atau taksi. Namun panggilan seseorang menghentikan langkahnya.

"Bang Frikson," panggil seseorang sambil melambaikan tangan.

Frikson menoleh, keningnya mengernyit heran memandang seorang wanita memanggilnya dari kejauhan. Dia merasa tidak pernah mengenalnya, Frikson kembali mengingat-ingat wajah itu. Seketika sebuah nama terucap saat kepalanya berhasil mengingat, "Caroline. Adik Nathan."

Dengan langkah tegap dia berjalan menghampiri Caroline. "Caroline?" serunya saat berada di depan wanita itu.

"Abang ingat?" tanya Caroline senang.

"Tidak begitu ingat sebenarnya," jawab Frikson tenang.

Caroline memasang wajah kecewa. "Bang Nathan minta tolong untuk jemput Bang Frikson."

"Panggil Frikson saja."

"Ehm, baiklah Frikson. Ini terdengar tidak sopan, tapi kamu yang meminta. Ayo silahkan masuk mobil.

"Maaf merepotkan, tapi biar aku saja yang menyetir."

Caroline mengedikkan bahu, "terserah saja." Dia masuk ke bangku penumpang, Frikson tidak semenyangkan dalam bayangannya. Mungkin saja pikirannya sedang kalut karena kondisi Sharon.

Berbicara tentang Sharon, Caroline jadi semakin tidak suka dengan kepribadian Frikson. Bagaimana mungkin seorang kakak tega menelantarkan adiknya begitu saja. Ironis, Frikson terlalu cuek sedangkan Nathan terlalu ikut campur, bahkan dalam urusan pribadi sekalipun. Caroline menghela napas. Mobil mereka melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah sakit tempat Sharon dirawat.

"Kamu tidak pulang ke rumah dulu?" tanya Caroline. Dia jengah dengan pria tanpa basa basi disampingnya, setidaknya ucapkanlah beberapa kalimat supaya suasana tidak secanggung ini. Demi apapun dialah yang butuh bantuan.

"Aku tidak punya rumah, aku tidak punya tempat untuk pulang," sahut Frikson.

Caroline merasa hatinya tersentuh, kalimat itu punya banyak arti dan makna. Sebenarnya seberapa putusasakah kakak beradik ini? Bahkan ayahnya sendiri tidak peduli sama sekali ketika Caroline datang memberi kabar bunuh diri berikut kehamilan Sharon. Caroline tidak akan tahu bagaimana rasanya, karena dia dan Nathan tumbuh dengan penuh kasih sayang dan materi dari orang tua.

"Tinggallah di rumah kami. Aku dan Bang Nathan hanya tinggal berdua."

Frikson mengedikkan bahu, dia tidak begitu suka dikasihani, apalagi oleh seorang wanita. "Akan kupikirkan nanti. Thanks anyway."

Caroline kembali bungkam, menatap jalanan Kota Medan yang mulai padat di sore hari. Kedua orang tuanya tinggal di Jakarta. Caroline dan Nathan memutuskan untuk kuliah di Medan, datang sebagai perantau dan hidup terpisah dari orang tua. Keduanya ingin belajar mandiri. Oleh karenanya Nathan begitu mengekang Caroline, apalagi dalam hal pergaulan dan pacaran.

Edelweiss for CarolineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang