villa (8)/ Marsya

31 3 0
                                    

Villa senang bukan main. Siang ini dia mendapat telefon dari Verdi. Dia memang sempat cerita ingin magang di perusahaan lain. Bukan di perusahaan papanya. Verdi bilang punya teman yang sedang mencari sekertaris. 'sekertaris?  Not bad '  batin Villa dalam hati. Dia sudah mengenakan pakaian layaknya seorang karyawan. Dia kembali melihat kearah cermin. Senyumnya langsung merekah melihat pantulannya disana. Kemeja putih dengan jas hitam dipadukan dengan rok span . Rambutnya dibuat sedikit curly di bagian bawah dan dia jepit setengahnya. Dia juga mempoleskan make up sewajarnya di pipinya plus lipgloss  berwarna merah muda yang senada dengan make up tipisnya dan kulit putihnya. Farfum beraroma peach yang menambah kesan elegan seorang Villa.

1 jam lagi dia akan bertemu dengan boss nya

Sebenarnya pakaian kerja yang dikenakannya ini adalah hadiah kelulusan dari Reza. Sebelum Reza pergi dia memberikan hadiah itu. Reza juga menolak saat Villa ingin mengantarnya ke bandara. Reza bilang kalau Villa ikut mengantarnya itu akan membuatnya ragu untuk pergi. Keduanya tentu tidak ingin akan hal itu. Reza juga berjanji akan segera kembali ke tanah air begitu pekerjaannya sudah selesai. Dia memang sengaja tidak mau dikontrak tetap oleh perusahaan itu. Reza hanya disana saat misi perusahaan itu sudah diwujudkannya. Perpisahannya dengan Reza kemarin memang sedikit mengesankan. Membuat Villa tersentuh akan kesungguhan hati Reza padanya. "Dimana lagi gue bisa ketemu cowok sebaik Reza? " Kata Villa masih menatap pantulannya di cermin.

"disini" jawab Rafa pada seorang pria berambut keriting dan berkacamata yang sedang berada di depan mejanya memegang sebuah file berwarna coklat muda.

"baik pak" dia meletakkan sebuah file dimeja yang disuruh Rafa. Lalu membungkukkan badan seraya berpamit. Begitu melihat sang karyawan menutup pintu,  Rafa langsung menyambar file itu.  Dia membuka halaman demi halaman hingga kesuatu halaman dimana tertulis sebuah judul besar 'BIODATA'

Rafa sedikit menarik nafas panjang sambil menutup matanya. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa apapun faktanya nanti harus diterimanya.

"Hutama?" kata Rafa sambil terus membaca baris demi baris. Tapi semakin banyak baris yang dia baca,  yang dia lakukan hanya menggeleng. Dia pun dengan lemas menutup file itu dan meletakkannya asal dimeja. Rafa bersandar ke kursinya sambil menutup mata. "Dia bukan Villa-ku" katanya kehilangan mood. Rafa berkata demikian bukan tanpa dasar. Semua biodata calon sekertarisnya itu memang berkata demikian.

Pertama,  Villa-nya bukan bermarga Wijaya.

Kedua,  Villa-nya bukan kelahiran dan sempat berdomisili di Amerika.

Ketiga,  Villa-nya tidak mungkin lulusan Sekolah Bisnis yang super duper elit

Keempat,  Villa-nya bukan anak dari orang terhormat seperti Pak Wijaya.

Dan

Kelima,  Villa-nya tidak lahir saat 30 September.

Dert.. Dert... Dert

Rafa membuka matanya melihat HP yang bergetar di mejanya. Rafa langsung membuang nafas kasar.
'please.' mohonnya dalam hati. Menatap horror akan si penelfon. Tak lama kemudian HP itu berhenti bergetar. Tapi sesuai prediksi Rafa selang beberapa detik kembali bergetar lagi menunjukkan nama pemanggil yang sama. Rafa mengambil HP itu dan menaruhnya ke sudut meja dan menaruh file sebelumnya ke laci asal. Rafa mulai melanjutkan pekerjaannya. Dia memang sangat sibuk tengah mengurus peluncuran produk baru. Walaupun sudah banyak perusahaan yang memberikan modal tanpa ragu seakan percaya pada Rafa,  Tapi itu malah membuatnya bekerja sangat keras tidak ingin mengecewakan mereka.

Villa Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang