Kania mengeringkan rambutnya dengan hairdryer. Ia teringat dengan kejadian tadi sore. Sebenarnya ia malu terlihat lemah seperti itu didepan Raka. Tapi apa yang harus ia perbuat? Nasi sudah menjadi bubur.
Kania menggenggam gelang Raka yang ia pakai untuk ikat rambut. Kania tersenyum sendiri. Belum pernah ia merasa senyaman ini dengan oranglain selain keluarga kandungnya. Tiba- tiba ia teringat dengan handphone nya yang rusak. "Iish, tuh orang gak ada niatan ganti hp gue apa ya?" Gumam Kania kesal.
Suara pintu kamar Kania diketuk terdengar. Kania membuka kamar. "Ayo makan, semua udah nunggu dibawah! " Ajak Mama. Kania mengangguk. Sambil menuju ruang makan, mama mengajak Kania berbincang.
"Kania, kita kan sudah 4 tahun tinggal bersama. Tapi kamu selalu tertutup. Ada masalah? Kamu bisa cerita masalah kamu kapanpun kamu mau." Ucap Mama, merangkul Kania. Mama berusaha memberi rasa aman pada Kania. Kania tetap diam."Mama tau kamu belum ikhlas sama kepergian Mamamu. Tapi.."
"Ma, ini nggak ada sangkut pautnya sama Mamaku. Jadi tolong jangan main ambil kesimpulan sendiri." Kania melepaskan rangkulan mama, lalu pergi mendahului mama menuju ruang makan.
" Sampai kapan mau begini terus? Setiap hari aku seperti tinggal dengan orang asing. Aku ingin kita seperti keluarga yang lain. Tapi kenapa? Apa aku tidak cukup baik untuk menjadi 'Mama' nya?" Tanya Mama dalam hati sambil menatap punggung Kania yang menjauh.
Di ruang makan, suasana benar- benar canggung. Sama seperti malam- malam sebelumnya. Tidak ada suara berbincang dengan ramai. Yang terdengar hanya sendok dan garpu yang beradu diatas piring. "Aku udah selesai. Aku duluan."Kania bangkit dari tempat duduknya. Papa menahan Kania.
"Kania, sampai kapan kamu mau begini terus? Kamu selalu menutup diri kamu. Ini keluargamu! " Papa berdiri dari tempat duduknya. Kania menoleh ke arah papa. "Papa benar. Ini keluargaku. Siapa bilang ini bukan keluargaku?"Kania menatap papa tajam.
"Kalau kalian tanya siapa keluargaku, aku akan jawab kalian adalah keluargaku. Tapi kalau ditanya apakah keluargaku baik- baik saja, aku tak akan jawab baik- baik saja." Kania pergi dari ruang makan. "Oh ya, satu lagi. Katanya kita keluarga kan? Apa keluarga hanya meluangkan waktu saat makan malam? Apa bisa papa jawab?!" Kania menyeringai lalu tertawa meledek. Papa terdiam. "Kalau memang gak bisa, tolong jangan tanya apapun padaku! Urus saja diri kalian sendiri!" Kania naik ke atas lalu masuk ke kamar. Semua di ruang makan tertunduk, termasuk Maria. Kania, apa salah kami?
Dikamar, Kania menutup mulutnya, menahan suara tangis agar tak terdengar. Hari ini hari ulangtahunnya, dan tak satupun ingat pada ulangtahunnya. Kania memeluk boneka teddy bear dari mama. "Bear, ini keempat kalinya, gue berulangtahun sama lo. Tanpa siapapun selain lo. Jangan kayak papa ya, bahkan sama ultah gue aja lupa. Hahaha..." Kania berusaha tersenyum sambil mengusap boneka teddy bear cokelatnya.
"Udah ah, gue nangis terus daritadi." Kania mengusap air matanya. Lalu menuju meja belajar. Ia mengambil laptop dan meletakkannya di kasur. "Hari ini gue sial terus deh." Gumam Kania. Teringat handphone nya yang rusak, kehujanan, dan tak satupun keluarganya ingat ulangtahunnya.
Kania berencana menonton While You Were Sleeping. Ketika film mulai, Kania justru menangis lebih deras. Karena tidak fokus, Kania menutup laptopnya, dan memilih ke balkon. Menikmati langit bertabur bintang, tak luput bulan yang bercahaya.
----------------
Raka berinisiatif menyimpan kue blackforest Kania yang tertinggal dimobil dalam kulkas. Setelah mandi, seperti biasa, Raka menuju balkon, hendak mengobrol dengan Maria. Namun matanya tertuju pada Kania yang berada dibalkon kamarnya tengah menangis sambil menatap langit. Itu anak kenapa lagi?
Kebetulan, ayah dan bunda sedang pergi. Akhirnya Raka menuju kamar orangtuanya itu yang berseberangan dengan balkon kamar Kania. "Kania, kenapa lagi lo?" Teriak Raka agar terdengar. Kania menoleh. "Kepo." Jawab Kania singkat. Lalu ia terisak. "Salah gue apa sih?" Tanya Kania pada dirinya sendiri.
Nekat, Raka memanjat pagar balkon, lalu sekarang ia berada di balkon kamar Kania. "Kenapa lagi Kania?" Tanya Raka sambil memegang kedua bahu Kania. Kania menahan tangisnya, namun ia tak sekuat itu. Ia menunduk lalu menangis. Raka tidak tega, akhirnya memeluknya dan mengusap punggungnya.
"Ya udah, keluarin emosinya terus sampe habis. Yang lama ya, biar gue bisa melukin lo terus." Canda Raka. Kania memukul dada Raka lalu mundur selangkah dari Raka. "Lo ngapain manjat pager gitu? Ahli kabur ya?" Kania mengusap air matanya, lalu menatap Raka heran. Raka menggeleng. "Gue takut panjat pager. Tapi gara- gara lo, gue jadi berani." Raka menghela napas. "Lo mau cerita masalah lo ke gue?" Kania awalnya ragu, tapi sepertinya Raka bisa dipercaya.
Kania bercerita panjang lebar. Soal mama dan papa yang gila kerja, papa yang selalu menyalahkan Kania, dan papa yang lupa soal hal penting tentang Kania.
"Emangnya hal penting apa yang bikin lo nangis itu? Apa ada sangkut pautnya sama tadi sore? Tanya Raka. Kania memutar bola matanya. "Kepo lo!" Tiba- tiba terdengar suara mobil datang ke rumah Raka. "Ayah sama bunda pulang, gue balik ya. Nanti dimarahin kalo ketauan." Pamit Raka.
"Oh ya, kue lo ketinggalan di mobil gue. Besok disekolah gue bawa." Raka berusaha memanjat pagar, namun ia tak berani. "Duh gue gak bisa baliknya nih!" Kania tertawa. "Sok- sok an sih! Terus baliknya gimana?" Kania ikut bingung. "Lewat rumah gue aja." Tawar Kania. Raka ragu, papa dan mama Kania bisa salah paham. Tapi apa boleh buat, dia tidak berani memanjat pagar kembali ke rumahnya. "Kok tadi gue bisa ya? Kok sekarang nggak bisa?" Pikir Raka heran.
"Heh, mau balik ga lo? Cepetan!" Kania menarik Raka ke dalam kamarnya. Pintu balkon ditutup. Raka melihat sekeliling kamar Kania. "Lo suka biru ya?" Tanya Raka saat melihat barang dikamar Kania dominan berwarna biru. Kania mengangguk. "Lo mau pulang kan? Udah ga usah liat- liat! Ayo kebawah!" Kania membantu Raka keluar. Akhirnya sampai diruang tamu, tiba- tiba..
"Lho Raka, kok malem- malem masih disini? Kapan masuknya? Om gak liat." Papa muncul dari kamar, sudah mandi.
"Oh itu om..., mm.."
"Minjem buku pa! Dia tadi minjem buku, tapi Kania gak punya." Kania mencoba membuat alasan.
"Memangnya buku apa?" Tanya Papa. "Buku seribu cara mendapatkan pacar om!" Jawab Raka asal. Papa terkejut. Kania mencubit tangan Raka."Ih bukan! Itu lho pa, buku novel. Tapi Kania kan gak punya novel yang pas buat Raka." Kania kesal dengan jawaban Raka, aneh- aneh aja.
Papa mengangguk- angguk paham. "Ya sudah, ini sudah malam. Kania harus istirahat. Besok kan sekolah." Ucap papa. "Kalau mau tahu cara dapet pacar, tanya aja om, oke?" Canda papa pada Raka. "Kalau gitu om ke dalem dulu ya." Papa meninggalkan mereka berdua.
"Heh Raka, jawaban lo asal-asal aja sih! Jadi kesel gue! Oh iya, kuenya buat lo aja ya! Udah sana pergi, nanti lo dicariin." Kania membukakan pintu. "Iya iya, bawel banget sih! Udah sana lo juga tidur, jangan nangis mulu." Raka mencubit pipi Kania lalu pergi sambil melambaikan tangan.
Kania menutup pintu rumah. Entah mengapa hatinya berdebar- debar. Kania menyadari, ada rasa yang ia simpan didadanya.
Kania pergi ke kamarnya, lalu tertidur. Mimpinya indah setelah sekian lama sering bermimpi buruk.
--------------
Tadi Raka masuk rumah dengan bantuan bi Nani yang belum tidur. Ayah dan bunda sudah dikamar sehingga tidak mendengar Raka yang baru datang.
Raka pergi ke kulkas. Ia teringat saat Kania menyanyikan lagu ulangtahun untuk dirinya sendiri. Sepertinya hal penting itu yang dilupakan keluarganya. Tiba- tiba Raka punya ide untuk Kania. Sesuatu yang tak terduga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Abstract
Teen Fiction⚠ VOTE DIKIT LAH KALO SUKA :) . . . Memang ada yang patut dipendam sendiri dan ada yang harus dipendam. Termasuk perasaan beberapa anak manusia. Tak terkecuali Raka, yang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Atau Maria yang tenggelam dalam pesona pa...