Nineth- More Than Anything

25 4 0
                                    

Bel pulang sekolah merupakan hal yang paling ditunggu siswa - siswi di sekolah. Termasuk Raka yang sudah menyusun rencana semalaman.

Kania sibuk merapikan buku. Bu Eni masih saja asyik mengajar kimia didepan, membuat seisi kelas kesal. "Eh, udah bunyi bel tuh!" Iwan, si ketua kelas berbicara lantang dengan sengaja agar terdengar Bu Eni. Namun Bu Eni tetap saja bicara ngalor ngidul soal atom dan unsur- unsur memusingkan.

Mungkin bagi anak IPA tidak masalah dengan pelajaran kimia. Namun lintas minat kimia bagi anak IPS adalah neraka sekolah.

"WAAH!! UDAH JAM 2.15 YA GAES, KITA BALIK YUK BALIK!!!" Silfa sengaja mengeraskan suaranya, sudah gerah dengan rumus oksidasi. Bu Eni yang mendengar suara Silfa langsung bergegas merapikan bukunya dengan perasaan dongkol.

"Ya sudah, ini tulisan di papan tulis jangan dihapus. Kerjakan soal nya dikertas polio ya!" Ucap Bu Eni, membuat anak- anak sedikit lega karena akhirnya Bu Eni mengakhiri pelajaran walaupun memberi mereka tugas. Setelah berdoa dan memberi salam, Bu Eni pun keluar kelas. Anak- anak yang sedari tadi kesal pun mengeluarkan amarahnya.

"Itu guru betah amat ngajar!" Celetuk Iwan. Silfa yang sedari tadi sudah kesal ikut nimbrung. "Tau tuh, suara bel sekenceng itu masih aja budeg!" Seru Silfa sambil memakai lip tint dan menyemprotkan parfum dari atas ke bawah. Raka yang melihatnya langsung melotot.

"Buset Silfa, mau kemana lo? Abis ini langsung kondangan? Dandanannya heboh amat. Mau nge - jablay ya!" Ejek Raka. Silfa melirik Raka sinis. "Terserah gue dong! Lo mau? Sini gue dandanin." Silfa menyodorkan lip tint dan parfum ke arah Raka. Raka menghindar.

Kania tidak mau ikut bergabung dengan mereka. Untuk apa? Toh dikelas ini mereka mengenal Kania sebagai cewek angkuh dan menyebalkan.

Raka menghampiri Kania yang hendak keluar kelas. "Ayo pulang sama gue!" Ajak Raka. "Maria?" Tanya Kania. Dari tadi pagi, Maria memang tidak berada dikelas karena urusan OSIS. "Lo tau sendiri, dia sibuk sama Yudha di OSIS." Raka memaksakan untuk tersenyum. "Udah lah, ga usah mikirin dia. Ayo pulang!" Kania ditarik Raka ke parkiran.

Lagi- lagi berpuluh pasang mata memandang penuh tanya. Dan lagi - lagi mereka tidak peduli apa yang mereka bicarakan.

Tanpa disadari, ada hati yang patah. Sakit. Apalagi ketika akhir- akhir ini melihat mereka berdua semakin dekat. Seakan tidak memberi kesempatan baginya untuk muncul diantara celah mereka berdua.

-------------

"Kok lewat jalan sini?" Tanya Kania ketika melihat rute yang dilewati mobil Raka tidak seperti biasanya. "Gue mau mampir dulu. Males banget gue kalo langsung pulang. Sepi. Mending sama lo, biar gak keliatan jomblo- jomblo amat." Jawab Raka. "Kalo jomblo ya jomblo aja. Ga usah pura- pura." Kania meledek. "Muka jomblo itu beda. Lebih ngenes, dekil, kucel, kumel dan gak keurus kayak lo." Tambah Kania.

"Lah, ngaca dong mbak! Lo sendiri jomblo kan? Lebih ngenes mana gue sama lo?" Tanya Raka seraya tidak terima dengan ejekan Kania. "Ya, udah pasti lebih ngenes lo!" Jawab Kania. "Manjat pager aja bisa. Giliran balik lagi ga bisa, itu ngenes kan?" Kania tertawa.

Raka melihat ke arah Kania."Lo itu cantik kalau ketawa." Ujar Raka membuat Kania menoleh. "Ulang sekali lagi!" Pinta Kania. "Tidak ada pengulangan!" Raka menolak. "Ulang!" Paksa Kania. "Buat apa?" Tanya Raka.

"Lo tadi denger kan?"

Kania mengangguk. "Tapi gue pengen rekam." Jawab Kania. "Oh, mau direkam buat diputer ulang kalo lo kangen gue ya?" Goda Raka. Kania terbelalak. "Enak aja lo!" Kania memukul Raka yang sedang menyetir. "Awas ih gue lagi nyetir! Kalo mobil gue nabrak gimana? Emangnya lo mau gantiin mobil ini jadi lamborghini?"

AbstractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang