Sebut saja ia Diana,
Di hari kelima setelah melahirkan putranya, ia berniat merebus anaknya sendiri. Ia sudah bertekad bulat. Para tetangga yang mengetahui rencananya segera berusaha menyelamatkan bayi tersebut.
Ia lelah. Suaminya tidak pernah pulang semenjak ia mengabarkan suaminya kalau ia sedang mengandung anaknya. Diana kesal, menyalahkan bayi kecil tak berdosa itu.
"Bayi brengsek! Sama seperti ayahnya! Bodoh!" Diana meronta- ronta ketika warga mengikat kaki dan tangannya di pagar.
"Awas saja! Aku bunuh bayi laknat itu! Lihat saja!!!" Diana berteriak - teriak keras. Berusaha melepaskan ikatan. Sang bayi yang masih lugu hanya diam dalam gendongan seorang wanita yang tak sengaja lewat dan melihat keramaian didepan rumah Diana.
"Kamu lucu ya? Kenapa ibumu sendiri mau ngebunuh kamu? Kamu kan gak salah apa- apa. "Gumam Fania, wanita yang menggendong bayi itu sambil mengusap lembut pipinya. Dari jauh, Diana menatapnya tajam.
"Jangan sentuh dia! Dia bayiku!!! Aku ibunya!! " Teriak Diana dengan mata merah menyala. Fania balas menatap Diana dengan mata menantang. "Hah? Kamu ibunya? Kamu gak pantas dapat sebutan ibu!" Fania membawa bayi itu pergi diiringi teriakan Diana yang makin memekakkan telinga.
Malam harinya, dikabarkan Diana dibawa ke rumah sakit jiwa dan bunuh diri. Kabar itu sedikit membuat Fania kasihan dengan bayi itu. Bayi itu sebatang kara. Ayahnya saja tidak jelas. Namun Fania berpikir, lebih baik Diana mati daripada bayi itu terbunuh.
Fania hanya tinggal sendirian. Ia masih seorang mahasiswi. Dia belum menikah, dan ia takut bayi ini menjadi fitnah. Tapi ia menepis hal itu.
Fania membeli perlengkapan bayi dan mengurusnya sendiri. Ia memberi bayi itu nama, yaitu Ihsan. Setiap hari ia membagi waktu antara tugas dan mengurus Ihsan. Meski merasa lelah, Fania merasa hal yang ia kerjakan sangat menyenangkan.
Sampai akhirnya suatu hari, orangtua Fania mendengar kabar bahwa Fania sedang merawat seorang bayi.
"KAMU PIKIR INI PANTI ASUHAN?" Ibu Fania melotot tajam. "BUANG BAYI ITU! BIKIN MALU KELUARGA AJA!" Fania meneteskan air mata. Ia tidak bisa. Ia terlanjur sayang pada Ihsan. Ia memeluk Ihsan erat.
"Jangan bu, kasihan dia. Ibunya sendiri mau ngebunuh dia. Sekarang ibunya udah meninggal, bunuh diri. Ayahnya gak tau kemana. Tolong bu, turutin kemauan Fania kali ini saja." Fania memohon.
"IBUNYA SAJA MAU MEMBUNUH, BERARTI DIA ANAK PEMBAWA SIAL." Ucapan ibu Fania menyayat hati Fania. Meski bukan ibunya, Fania berat melepas Ihsan.
Ibu Fania berusaha merebut Ihsan dari gendongan Fania. "SEKARANG KAMU PILIH, BUANG IHSAN ATAU BUNUH IHSAN?" Pertanyaan ibu Fania membuat Fania terbelalak. Tidak mungkin. Fania tidak bisa memilih. Ini bukan pilihan. Ini jebakan.
Fania menatap Ihsan, bayi yang sudah tumbuh bersamanya selama 3 bulan. Tubuhnya masih mungil, namun itu yang membuat Fania ingin melindunginya. "Ihsan, maafin mama ya. Maaf." Fania meletakkan Ihsan ke sebuah tas. Lalu ia meletakkan perlengkapan Ihsan dan sebuah surat.
Fania mengemudikan mobilnya ke sebuah panti asuhan. Panti asuhan ini sudah lama terlihat sepi. Entah masih ada orang atau tidak. Fania melihat ke sekeliling. Hatinya tidak bisa meninggalkan Ihsan disini.
"Maafin mama, Ihsan. Maaf." Fania mengecup dahi bayi kecil yang tertidur pulas itu lalu meninggalkannya sambil menangis.
Malamnya, bayi itu menangis keras karena banyak nyamuk yang menggigitnya. Untungnya, seorang pengurus panti melihatnya. Ternyata panti pindah ke gedung yang baru. Lalu dibawalah Ihsan ke panti baru, yang letaknya cukup jauh dari tempat Fania terakhir kali melihat Ihsan.
Dua bulan berlalu, Fania menikah dengan kekasihnya dengan desakan ibu. Lalu tak lama ia mengandung anaknya. Terkadang, Fania berkunjung ke tempat ia meletakkan Ihsan untuk yang terakhir kali. Kini, tempat itu menjadi sebuah rumah makan yang mewah. Dan Fania tetap tidak tahu kabar Ihsan.
-----------
Umurnya empat tahun. Bersama teman- temannya, ia menikmati dunia tanpa orangtua. Ia hanya tahu teman, dan ibu pengasuh panti, Umi Ulfa.
"Ihsan, jangan lari - lari ya." Umi Ulfa memperingatkan. Namun Ihsan masih membandel.
Umi Ulfa sering menceritakan kejadian ketika ia melihat tas berisi Ihsan di depan pintu gedung panti lama. Ihsan suka cerita itu. Karena ia menjadi tahu, bagaimana mamanya membuang dirinya. Meski itu menyakitkan.
Cerita itu kini menjadi mimpi bagi Ihsan untuk bertemu dengan mama. Ia tidak mengerti, mengapa mamanya sampai hati membuangnya. Hanya ada surat dari mama yang masih membuatnya tetap percaya bahwa mama mencintainya.
Untuk yang menemukan bayi ini
Terimakasih
Tolong rawat dia
Aku meninggalkannya karena aku menyayanginya
Namanya IhsanMama selalu mencintaimu
Ihsan ♡Ihsan tak habis pikir. Mana ada orang yang cinta tapi malah meninggalkan? Namun Umi Ulfa selalu membuat Ihsan berpikir positif.
"Cinta itu tidak hanya soal bersama, saling cinta, selamanya. Cinta juga soal melindungi dan merelakan. Juga tentang melepas yang ingin digenggam erat."
Ucapan Umi Ulfa menyadarkan Ihsan, ada sesuatu yang tak beres tentang dirinya.
Di ulangtahunnya yang kelima tahun, ada orangtua yang mengadopsi Ihsan. Ihsan senang, namun juga sedih karena harus berpisah dari teman- temannya.
Awalnya semua baik- baik saja. Sampai akhirnya ayah angkatnya meninggal. Dan ibu angkatnya menjadikannya seperti budak. Umurnya yang masih delapan tahun dipinta melakukan tugas- tugas berat. Bahkan tidak disekolahkan. Tubuhnya makin kecil dan kurus. Orang- orang berpikir Ihsan hidup bahagia. Namun ketika di dalam rumah, semua berubah.
Ihsan tidak tahan. Ia ingin lari. Namun tidak bisa.
Suatu hari, ibu angkatnya membawanya ke pom bensin dan Ihsan ingin buang air kecil. Ketika Ihsan ke toilet, ibunya pergi meninggalkan Ihsan. Bahkan ketika Ihsan pulang sendirian, rumahnya sudah dipasang spanduk 'Dijual'.
Ihsan kembali ke panti tanpa membawa apa- apa. Umi Ulfa dengan senang hati menerima Ihsan kembali. Ihsan tidak mengerti. Mengapa ia selalu dibuang?
--------
Umurnya menginjak 10 tahun. Meski sedikit trauma, ia akhirnya mengizinkan untuk diadopsi. Calon orangtuanya ramah, baik. Dan mereka sudah punya anak perempuan yang 3 tahun lebih tua dari Ihsan. Namanya Ghina.
"Hay, aku Ghina! Kamu Ihsan kan?" Tanya Ghina ramah. Ihsan mengangguk pelan. "Oh ya, kan kamu udah jadi adikku. Gimana kalo nama kamu jadi Ghani?" Usul Ghina diterima oleh orangtuanya. Bahkan Ihsan sendiri setuju untuk mengganti namanya. Sejak itu, hidupnya semakin indah.
Ia bersekolah di sekolah yang berbeda dengan Ghina, karena Ghina sudah SMP. Ketika pembagian rapor tiba, Ghani dan ibu hendak mengantri. Tiba- tiba Kania dan mamanya sudah berada dihadapan mereka. Meski satu sekolah, Kania dan Ghani tidak saling mengenal dekat. Mungkin hanya Ghani yang mengenal Kania sekadar nama.
"Kamu Ihsan kan?" Tanya mama Kania sambil berbinar- binar. Ghani hendak mengiyakan namun ditepis ibu. "Bukan, dia Ghani." Jawab ibu sambil tersenyum. Mama Kania terlihat kecewa lalu pergi meninggalkan mereka.
Fania tahu persis, itu Ihsan. Ada tiga tahi lalat kecil dibelakang telinga kirinya. Ia rindu Ihsan. Ingin sekali ia menceritakan masa masa ketika mereka bersama. Meski hanya tiga bulan, itu sangat membekas di hati Fania.
"Ma, ayo ambil rapotnya." Ucap Kania sambil mengulum lollipopnya. Fania tersenyum. Sekarang sudah ada Kania, barangkali ia harus menjaganya melebihi saat ia menjaga Ihsan dulu.
Tanpa diketahui, Ghani menatap Fania dari belakang. "Mamaku, mama Kania?"
----------------------------------------
Hay gaes. Ceritanya gaje ya? Maaf ya gaes kalo alurnya ga jelas gini.
Sepertinya author akan disibukkan dengan Tugas dan Ulangan.Apalagi bentar lagi Ramadhan! Yeayy!!! SELAMAT MENUNAIKAN IBADAH PUASA bagi yang menjalankan ya gaes :) Salam Arasseo :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Abstract
Teen Fiction⚠ VOTE DIKIT LAH KALO SUKA :) . . . Memang ada yang patut dipendam sendiri dan ada yang harus dipendam. Termasuk perasaan beberapa anak manusia. Tak terkecuali Raka, yang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Atau Maria yang tenggelam dalam pesona pa...