Thirteenth - Pura- pura

41 4 0
                                    

Sudah lama Kania menutup tirai balkonnya. Entah sampai kapan. Balkon ini membuatnya sering tersiksa.

Tidak!

Bukan balkon yang salah. Bukan balkon yang membuatnya tersiksa, tapi perasaannya. Perasaan yang ia pendam semakin hari semakin membesar. Membuat lapisan rindu dihatinya semakin tebal.

Seringkali tangannya gatal untuk menyibak kain tirai yang menutupi balkon tersebut. Sekadar untuk memastikan, apakah Raka mencarinya?

Ia kini jarang berinteraksi dengan Raka. Cowok itu sibuk dengan kegiatan barunya di ekstrakurikuler basket, membuat cowok itu jarang bertemu Kania meski hanya untuk menyapa. Bukankah itu justru mempermudah Kania untuk mengusir perasaannya?

Namun itu justru yang membuat Kania penasaran dengan apapun tentang Raka. Meskipun di otaknya menyangkal, namun hatinya tak bisa melawan.

Sudah berapa daun yang jatuh selama mereka tak bertemu? Sudah berapa senja yang mereka lewatkan? Selama itukah?

Kania kini berada di kelas, tangannya menopang dagunya. Telinganya setia mendengarkan lagu- lagu favoritnya yang telah ia pilih di playlist. Guru tidak ada, dan itu membuat Kania sangat bersyukur.

Pikiran Kania kembali melayang. Memikirkan kedekatan Yudha dan Maria yang semakin erat saja. Kadang Kania jengkel melihat Raka yang jealous dibelakang Maria, menatap mereka berdua dengan tatapan nanar dari kejauhan. Hanya melihat itu pun membuat suasana disekitar Kania memanas.

Ah, untuk apa ia harus cemburu?

Kania tersadar. Jam menunjukkan pukul 15.30. Bel pulang sekolah masih belum berbunyi. Kania sudah tidak betah disekolah. Ia ingin ke suatu tempat dimana ia bisa menenangkan hatinya. Satu tempat yang memang tak memiliki kenangan berarti bagi Kania.

Namun itulah yang membuat Kania jatuh cinta pada tempat itu. Karena Kania tidak suka pada tempat dimana ia memiliki kenangan. Terutama kenangan pahit yang berkaitan dengan kehilangan.

---------------------

Corner Cafe / 16:00

Seperti biasa, Kania memilih duduk di kursi cafe lantai dua. Ia memilih di balkon. Ia memang tidak suka dengan balkon dirumahnya, namun balkon di cafe ini memiliki rasa tersendiri bagi Kania.

Balkonnya menghadap ke jalan raya, memperlihatkan jalanan yang padat kendaraan dan ramai pedagang asongan di lampu merah. Juga mempertontonkan koridor jalan penuh sampah dan gerobak pedagang kaki lima yang menghalangi pejalan kaki.

Cafe ini memang sepi ketika jam pulang sekolah. Karena biasanya para siswa atau siswi memilih pulang dahulu ke rumah untuk sekadar berganti baju. Atau sengaja bersolek dirumah karena akan dijemput pacar dan makan berdua di cafe. Cafe ini akan ramai mulai pukul 16.00.

Kania suka menatap keramaian kota seperti ini. Ia tidak merasa sendiri. Meski yang ia lihat adalah sisi menyebalkan dari kota, yang membuat orang luar kota harus berpikir dua kali jika ingin pindah ke kota ini.

"Permisi. Mau pesan apa?" Tanya pelayan itu, sudah siap dengan pulpen dan kertas kecil. Kania yang sibuk menatap ke bawah langsung mengalihkan pandangannya. "Mango Bubble Milkshake nya satu, sama Tiramisu cake nya satu." Pesan Kania. Setelah pelayan mengulang pesanannya, Kania kembali asyik dengan kegiatannya menatap kota.

Apa kabar Raka? Rindukah?

Tiba- tiba pertanyaan itu mengusik pikiran Kania. Ngapain sih gue mikirin orang itu? Gak guna!

"Sendirian aja neng." Suara itu familiar ditelinganya. Seketika jantungnya berdegup kencang. Tolong Tuhan, jangan disini.....

Raka menepuk bahu Kania. "Heh, pura- pura gak kenal ya lo sama gue?" Kania menoleh. Menatap Raka dengan sedikit tidak percaya. "Ngapain sih kesini! Sana pergi, ganggu aja!" Kania merasa risih. Namun hatinya tidak bisa berbohong soal rindunya.

AbstractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang