Eight - Triangle?

30 4 0
                                    

Mata Kania terbuka lebar setelah merasakan hangatnya sinar matahari yang menembus celah jendela. Tubuhnya sangat lelah. Tiba- tiba ia mendapati Maria berada di kamar nya.

"Kania, lo jahat sama gue!"
Kania melotot tak percaya. Apa maksud Maria? Jahat darimana nya?

Pisau ditangan Maria sudah siap menerkam Kania. "Eh, ini ada apa Maria?" Kania bingung setengah mati. Mata Maria merah. "LO SOK POLOS BANGET SIH, JIJIK GUE SAMA LO! DASAR MUNAFIK!" Pisau tersebut menghujam kaki Kania. Darah mengucur dilantai.

"LO EMANG BEGO, PENGECUT, SOK POLOS, TAU- TAUNYA KELAKUAN KAYAK JALANG!" Maria berkali- kali menusukkan pisau ke tubuh Kania.

Kania tak bisa berbuat apa. Ia tak mengerti letak kesalahannya. Tubuhnya penuh luka dan kehilangan banyak darah. "A, ampun Maria. Sakiit, maafin gue Maria! Maaf!" Ucap Kania lirih. Tubuhnya sudah terkulai lemah bersimbah darah. "LO PANTES DAPETIN INI SEMUA, CEWEK MURAHAN!" Maria tertawa licik. Mama, papa, kalian dimana? Tolong Kania...

Maria melempar pisau ke arah Kania sehingga tepat menggores pelipis Kania. "Apa salah gue, Maria?" Tanya Kania pelan. Semua terasa kabur. Maria menatap Kania tajam. Lalu memutar bola matanya dan memandang Kania jijik. "Ini nih, cewek ga punya otak! Kesalahan sendiri aja gak tau!" Maria tertawa kencang. Lalu ia menuju pintu kamar.

"Gue gak mau ngelukain lo sampai mati. Tapi gue mau lo rasain, gimana rasanya lo penuh luka, sendirian, sampai akhirnya lo membusuk sendiri di kamar ini!" Maria keluar dan mengunci pintu dari luar. Kania sudah tak dapat bergerak. Darah menggenang di lantai. Sakit dan ngilu bercampur aduk. Hati Kania remuk. Bahkan lebih remuk dari tubuhnya yang sudah setengah hancur.

"Maria, gue mohon.." Air mata Kania mengalir.

"Maria..." Semua pandangan sudah berkunang- kunang.

Ia merasakan suhu disekitarnya panas. Ia kira akan ada seseorang yang menolongnya. Ternyata ... "KEBAKARAN!!!" Seru seseorang diluar. Kania sudah tak dapat berbuat apa- apa. Kamar Kania mulai terjilat api. Ia sudah tak dapat berjalan.

"MARIA, TOLONGIN GUE!!" Kania terisak. Tak ada jawaban. "TOLONG!!!" Api hendak menelan habis tubuh Kania."Tuhan, maafin Kania. Ampuni dosa Kania." Kania berdoa. Pasrah. Setengah badannya yang hancur terbakar. Wajahnya melepuh.

"LO SOK POLOS BANGET SIH, JIJIK GUE SAMA LO! DASAR MUNAFIK!"

"LO EMANG BEGO, PENGECUT, SOK POLOS, TAU- TAUNYA KELAKUAN KAYAK JALANG!"

"LO PANTES DAPETIN INI SEMUA, CEWEK MURAHAN!"

Kata- kata Maria terngiang ditelinga Kania. Api mulai menghanguskan tubuhnya.

"TOLONG!!!"

"TOLOONG!!!"

"TOLOOONG!!"

"Kania, bangun sayang! Kamu kenapa?" Mama menepuk bahu Kania yang sedari tadi berteriak- teriak. Kania terbangun dari tidurnya. Mimpinya terasa nyata sekali. Dadanya sesak.

"Kaki, tangan, badan gue, masih utuh?"

Tak terasa air mata Kania mengalir. Ia masih ketakutan. "Kamu mimpi buruk ya?" Tanya Mama sambil mengelus bahu Kania lembut. Kania berada dalam dekapan Mama. "Udah, sekarang baca istighfar, tarik nafas, tenangin diri dulu ya?" Mama menenangkan. Kania mengangguk.

Setelah sedikit tenang, Kania memberanikan diri untuk bersiap berangkat sekolah. Ketika Kania keluar kamar, ia berpapasan dengan Maria. Jujur saja, Kania sedikit takut.

"Hey, ayo kebawah bareng!" Ajak Maria sambil menggandeng tangan Kania. Kania tersenyum kecil. Mereka menuju ruang makan.

"Wah, anak papa sama mama udah pada rapi. Ayo kita sarapan!" Mama meletakkan sesendok nasi goreng ke piring masing- masing. Mereka mulai menyantap makanan masing - masing. "Oh iya ma, bulan depan kan Maria ulangtahun, Maria mau diadain di rumah ini dong." Maria berbicara. Kania tertunduk, masih ingat soal ulangtahunnya yang tidak diingat oleh keluarganya.

AbstractTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang