[Chapter 2]

9.8K 1.4K 76
                                    

ǁ Try Again ǁ

.

0-0-0

.

Kim Doyoung
Jung Jaehyun
Mark Lee
Lee Jeno

.

.

.

"Bagaimana? Sudah memutuskan ingin pergi kemana?"

Jeno terdiam―duduk dengan begitu baik sementara kedua matanya menatap punggung Doyoung yang sedang memasak makan malam. Entah kenapa, Jeno merasa ia sangat bersalah. Ia selalu memaksa ingin pergi ke Seoul, selalu bertanya mengapa ia tidak boleh pergi ke negeri ginseng tersebut, bahkan tak jarang ia meninggikan suara saat ia tidak mendapatkan jawaban apapun dari ibunya.

Padahal ia sendiri tahu, sejak kecil, ia hanya tinggal berdua. Ia akan melihat ibunya pulang larut malam karena bekerja. Tapi dengan cinta yang ibunya miliki, ia selalu bisa pergi keluar negeri dalam setiap liburan panjangnya.

Jeno jadi bingung, bagaimana ibunya bisa mengumpulkan uang begitu banyak, sehingga untuk kehidupan mereka dan semua yang diinginkannya selalu menjadi kenyataan.

"Eomma?"

"Hm?"

"Bolehkah aku bertanya sesuatu?"

Ketika itu, Doyoung selesai memasak. Ia membawa dua piring spaghetti dan menyimpan satu di depan putra satu-satunya tersebut. "Boleh. Tanya apa?" Jawabnya seraya mengambil posisi duduk di depan Jeno. Tangannya bergerak menuangkan air putih untuk anak laki-lakinya.

Jeno mengambil nafas pelan yang kemudian itu merebut atensi dari sang ibu. "Eomma..." Ia menjeda sebentar, takut-takut sambil menatap mata kelinci seseorang di depannya. "...tentang Seoul... kenapa aku tidak boleh pergi kesana?"

Tiba-tiba, suasananya tidak secerah sebelumnya. Hening... hening sekali. Jeno menundukan kepalanya dalam, tidak berani bertatapan dengan Doyoung yang mengeraskan ekspresi wajahnya.

"Eomma―"

"...eomma rasa eomma sudah sering mengatakan padamu untuk tidak menanyakan itu." Doyoung tidak mengerti kenapa ia jadi mengeluarkan suara sedingin ini. Tapi, sudah seperti trauma, setiap Jeno membahas satu-satunya hal yang tidak ia inginkan, maka inilah yang bisa ia lakukan. "Jangan memaksa eomma untuk mengatakannya."

"Tapi aku ingin tahu, aku juga perlu jawaban logis dari eomma." Jeno mengeraskan suara. Seperti sudah tidak bisa menahannya lebih jauh lagi. "Eomma tidak pernah mengatakan apapun tentang Seoul, padahal eomma sendiri bilang kalau nenek dan paman ada disana. Kita hanya hidup berdua disini, padahal aku ingin tahu dimana appa dan siapa appa. Apa benar aku anak eomma, darah daging eomma, huh?"

Kedua tangan Jeno terkepal diatas meja. Matanya sudah memerah bahkan ujung hidungnya juga, menatap sedih pada ibunya yang hanya diam.

"Katakan sesuatu jika aku memang anak eomma. Beritahu aku tentang Seoul yang tidak pernah aku tahu. EOMMA!"

"Habiskan makananmu." Doyoung bersuara datar setelah ia menghela nafas beratnya. Beranjak dari sana, ia kemudian keluar dari dapur untuk kemudian berjalan masuk ke dalam kamarnya tanpa berkata apapun lagi.

Yang mana itu membuat Jeno menangis sendirian dan merasa begitu buruk untuk segala hal.

Spaghetti buatan ibunya adalah yang terbaik yang paling Jeno sukai―tapi sepertinya, tidak untuk hari ini. Dengan cepat, Jeno berlari meninggalkan dapur untuk mengurung diri di kamarnya setelah membanting pintu.

Aku hanya ingin tahu... ada apa di Seoul, dan juga tentang appa....

.

.

Mark tahu jika dirinya bukanlah putra kandung Jung Jaehyun dan Kim Doyoung. Kedua orang baik hati itu mengadopsi Mark dari panti asuhan saat usianya belum genap enam tahun.

Ketika itu, ia seperti berada di surga. Jaehyun begitu baik sebagai ayahnya, begitupun dengan Doyoung yang menyayanginya seperti layaknya seorang ibu kandung. Mark mendapatkan semuanya; kasih sayang, mainan, uang, semuanya.

Mark tidak begitu mengerti kenapa keluarga barunya begitu kaya yang memiliki banyak uang. Tapi sekarang ia paham, karena Jaehyun adalah seorang pebisnis dan pemilik sebuah perusahaan besar.

Tidak heran, jika sekarang, ketika ia mengatakan ingin pergi ke Kanada, Jaehyun langsung menyetujuinya dan semuanya tersedia dengan mudah.

Lihat saja, bahkan hari ini ia sudah mendarat di Bandara Internasional Vancouver bersama dengan sang ayah.

"Wah, Vancouver!" Mark berkata senang. Kacamata hitam yang ia pakai membuatnya terlihat sangat tampan; seperti Jung Jaehyun meskipun mereka tidak satu darah. "It's been a long time."

―iya, ia pernah kemari, tapi itu dulu. Dulu sekali... ketika ia masih kecil, ia datang kesini bersama ibu dan ayahnya untuk berlibur.

"Kau senang?"

Mark mengangguk mantap. Ia tersenyum menatap Jaehyun. "Senang sekali, terimakasih." Ucapnya. Perasaannya menjadi semakin membaik ketika ia ingat apa yang menjadi tujuannya kemari bersama sang ayah―healing time untuk mereka berdua.

"Itu tidak masalah. Tapi appa rasa kita tidak bisa memulai rencana liburan kita hari ini, karena kita harus istirahat setelah perjalanan panjang."

"Tidak apa-apa. Kita punya banyak waktu di liburan kali ini, kan?"

Jaehyun hanya tertawa membalasnya. Tangannya terangkat untuk mengusak rambut Mark yang sekarang berwarna cokelat madu.

"Appa, kau ingat kapan terakhir kali kita datang kemari?"

Ayahnya seketika terdiam. Ia... tidak akan pernah lupa saat itu. Saat dimana dirinya, Mark, dan juga Doyoung membuat banyak kenangan manis layaknya sebuah keluarga di liburan panjang musim panas. "Wae?"

"Kau tidak ingin bertanya kenapa aku memilih Vancouver sebagai destinasi liburan kita?"

"Kau merindukan ibumu, benar?"

"Hm―ya."

Tapi lebih dari itu... Karena aku tahu, eomma dan adikku ada di kota ini. Vancouver...

.

.

Vancouver membawa Jaehyun mengingat semua kebersamaannya bersama dengan Doyoung. Yang tidak pernah Mark tahu adalah Vancouver telah menyimpan lebih banyak kenangan tentang Doyoung bagi Jaehyun.

Di tahun pertama mereka pacaran, mereka pergi Vancouver untuk menikmati gugurnya daun maple di musim gugur. Bahkan bulan madu mereka setelah pernikahan juga di Vancouver. Ketika mereka memiliki Mark, mereka juga memilih Vancouver sebagai tempat liburan mereka.

Dan sekarang...

...dirinya ada disini, Vancouver.

"Aku tahu kau ada disini, hyung..." Jaehyun bergumam pelan hingga suaranya sulit untuk terdengar di kamar hotelnya yang besar. "Sejak lama, aku tahu kau disini."

Karena bagaimanapun, Jaehyun terus mencari.

"...tapi aku tidak pernah memiliki keberanian untuk menemuimu karena semua kesalahanku―sangat fatal." Ingin menangis rasanya Jaehyun berkata seperti itu. Mengantarkannya pada sebuah memori lama tentang alasan kenapa Doyoung memilih pergi meninggalkan mereka dan menghilang dari seluruh rotasinya seperti di telan bumi.

Dan maafkan aku... Karena aku tidak pernah tahu kalau Mark―memiliki seorang adik. Anakku...

.

.

.

To Be Continued~

Try AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang