Satu

25.7K 1K 69
                                    

Prasta Savira. Terakhir yang Adrian tau, sosok wanita itu sudah tidak di Jakarta lagi. Dan sekarang kembali, bahkan mengacaukan semuanya. Hidup Adrian tidak tenang. Adrian bahkan sudah menutup aksesnya, tapi Adrian lupa jika wanita berumur 30 tahun itu, punya banyak cara. Lihatlah sekarang, tengah tersenyum ganjen. Di pikir Adrian bakal tertarik ?

Tidak akan.

"Jadi, bagaimana kabar anak kita ? Apakah dia tampan seperti Papanya ? Atau ---- ah dia lelaki, bukan ?" Prasta masih asik dengan tingkah laku yang di buatnya. Adrian hanya menatapnya jengah. Kemana saja wanita ini ? Saat Ghani, anaknya yang kini berusia 11 tahun tumbuh dewasa, Prasta baru muncul.? Tidak salah ? Bukankah wanita ini yang meninggalkan suami dan anak, lalu sekarang datang meminta kembali ?

Benar-benar licik.

"Kamu yakin ingin kembali ?" Asta mengangguk mantap dengan lengkap senyumannya. Asta harus memperbaiki hubungannya, atau mendekatkan dirinya dengan Ghani. "Yakin ?" Sekali lagi Asta menjawab dengan anggukan kepala. Asta sudah yakin, dia harus bisa.

"Jadi ?" Adrian menghela nafas, mungkin memberikan kesempatan untuk Asta tidak salah. Tapi perempuan ini meninggalkan luka mendalam, selama 11 tahun. Mereka menikah saling mencintai, bukan karena perjodohan. Lalu mengapa Asta dengan gampangnya meninggalkan Adrian serta Arghani Dikri, anaknya.

"Papa ?" Anak cowok berusia 11 tahun, berjalan dari arah tangga. Asta tersenyum manis, betapa ia merindukan Ghani. Namun yang Asta dapatkan rasa sakit. Ghani hanya memeluk Adrian. Tidak apa, Asta tidak mau menyerah.

"Sudah pulang ? Tadi ibu --- Asta ?" Ibu Adrian shok. Gadis penghancur anaknya kembali. Ibu Lisa menatapnya tidak suka. Asta berjalan ke arah ibu mertuanya, meski selalu jutek wanita paruh baya ini, tapi Asta santai saja menghadapinya. Kalau ngomong sama Asta, pedes.

"Bu," sapa Asta tersenyum, tidak baik di hadapan Ghani jika Lisa mengabaikan salaman Asta.

"Ngapain di sini ?"

"Ketemu suami dan anakku." Mata bu Lisa membulat, melirik ke Adrian yang hanya di tangapi gelengan kepala. Bu Lisa juga tidak mau ikut campur, toh itu hak Adri. Lagian Ghani memang butuh sosok ibu, tapi ah sudalah. Bu Lisa males ikut campur, dia kan mau lihat sinetron.

"Jadi Ghani, sudah besar ?" Asta memberanikan diri mengusap rambut anaknya, sedikit tersentil kala Ghani menolak sentuhannya. Bu Lisa sudah di ruang televisi.

Asta tersenyum miris.

"Tante, teman Papa ?" Adri mengusap pipi anaknya. Ghani mendongkak. Dia sudah dewasa, tidak sepolos itu untuk memahami siapa yang dekat dengan Papanya.

"Nanti Papa kasih tau, Ghani ke kamar dulu. Tidur." Ghani mengangguk berlari ke arah anak tangga. Adri menatap Asta yang sedikit berubah. Ada goresan kecil di pipinya, tapi Adri tidak peduli.

"Aku ijinkan kamu untuk memperbaikinya, sebulan."

"Sebulan ? Aku mana bisa secepat itu, Mas."

"Sebulan atau tidak sama sekali ?"

"Oke, sebulan."

"Kamu tidur di kamar tamu, di sana ada beberapa baju kamu." Asta mengangkat jempol tanda setuju. Tidak apa dia di kamar tamu, setidaknya dekat dengan Ghani.

Asta sudah hafal sudut rumah ini, dulu dia tinggal di sini. Asta membuka kamar tamu, terlihat nyaman. Kemudian Asta merebahkan badannya. Di mulai sekarang, Asta akan berjuang.

"Kamu yakin ? Ibu kurang setuju."

"Biarin bu, Adri pusing di ganggu dia terus."

"Tapi gimana cara menjelaskan sama Ghani ?"

Mantan IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang