Empat

9.9K 880 79
                                    

Mereka menghabiskan waktu seharian untuk bermain. Benar-benar main. Meski saat ini ada Kesha juga, tapi tidak mematahkan semangat Asta dan Ghani yang tengah asik main pasir. Kedua manusia tersebut seolah punya ikatan batin, selalu kompak. Bahkan, makanan kesukaan saja sama. Apa itu yang di namakan ikatan batin anak dan ibu !?. Adrian yang sejak tadi menyaksikan anak dan ibu itu, hanya mampu menghela nafas berat.

"Mau sampai kapan Mas ? Kasian mbak Asta." Adri diam, tidak menjawab apapun yang Kesha pertanyakan.

"Sebentar lagi kita akan menikah." Bukan ini jawaban yang Kesha mau tapi, sikap tegas Adri. Keputusan Adri sangat di butuhkan. Kesha tau jika Adri masih sangat mencintai Asta, begitupun Kesha yang sangat mencintai kekasihnya, dan itu bukan Adri.

"Aku capek mas. Merasa di hantui rasa bersalah. Aku ingin memperjuangkan hubunganku dengan Raihan. Bukan gini." Adri meninggalkan Kesha yang kini tengah menunduk. Adri egois, ya dia lelaki yang sangat egois. Mencintai Asta, namun ingin memiliki Kesha.

"Tante."

"Ada apa ?"

"Udahan yuk, Ghani lapar." Asta berdiri, mengulurkan tangan dan menarik Ghani sangat pelan. Keduanya berjalan untuk segera menemui Adri dan Kesha. Lagi, Asta harus menyaksikan pemandangan di mana Adri yang tengah menggengam tangan Kesha. Sesakit ini. Dan kemudian tangannya di tarik kencang oleh Ghani.

"Ayok, kita cari makan." Lalu Asta mengikuti saja tanpa keluar sepatah katapun ucapan dari mulutnya. Ghani, bukan anak TK yang tidak tau soal hubungan papanya dengan Kesha. Jujur, Ghani masih marah dan kecewa pada Asta, yang katanya dia adalah ibunya. Meninggalkan Ghani di saat umur yang masih balita, siapa yang tidak kecewa. Dan sekarang, sosok ibunya tiba-tiba hadir, mengacaukan dunia Ghani dan papanya. Walaupun begitu, Ghani senang. Mungkin, rasa kecewanya bisa hilang secara perlahan. Ghani mendongkak, menatap wajah ibunya yang terlihat masih cantik.

"Mau makan apa ?"

"Pulang aja deh."

"Lho ? Kamu lapar nggak ?"

"Ghani capek." Asta pasrah saja ketika anaknya mulai berubah mood. Kemudian menuntun Ghani ke arah parkiran. Menuju taxi yang sudah Asta pesan. Cukup tau diri untuk tidak menganggu Adrian, dan Asta memilih memesan taxi. "Kok pake taxi ? Papa emang ke mana ?"

"Nanti mama telepon papa kamu."

"Papa lagi sama tante Kesha ?" Asta mengangguk. "Ya tante kalah. Gercep dong, kayak tante Kesha."

Asta mengusap rambut Ghani, "Kalaupun mama tidak bisa hidup bersama kalian lagi, setidaknya, mama masih bisa berdekatan dengan kamu. Itu sudah cukup."

Nggak, Ghani nggak sebodoh itu untuk tidak memahami ucapan ibunya. Ia paham, bahwa ibunya sudah pasrah. Ghani menyandarkan kepalanya, menatap kaca sebelah kanan. Pandangannya menuju ke arah sepasang manusia yang tengah berpelukan.

"Pah, aku sama tante Asta duluan pulang."

Ghani meletakan ponselnya setelah mengirim pesan singkat lewat Whatsaap, lalu menoleh ke arah Asta yang tengah memejamkan matanya. Helaan nafas Ghani begitu keras, sehingga membuat mata Asta yang mulanya terpejam, kini terbuka karena kaget.

"Ada apa ? Kehausan ?"

"Ngantuk."

"Oke." Asta menarik kepala Ghani agar tertidur di pahanya. "Nanti kalau udah sampe, mama bangunin. Ayok tidur, pasti capek." Asta mengusap rambut Ghani dengan lembut, bibirnya tak henti tersenyum. Bayangan masa lalu, dan kenangan saat di mana Asta dengan sabarnya mengajari Ghani beridiri, berjalan dan bahkan Asta mengajari Ghani suruh naik sepeda. Hanya supaya anaknya jadi jagoan.

Mantan IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang