"Gimana sekolahannya, Senang ?"
"Banget. Cantik-cantik lho, mah."
"Lho kok malah merhatiin cewek ? Kan niat sekolah."
"Cuci mata." Keduanya tertawa, baik Ghani maupun Asta, mereka terlihat seperti adik - kakak. "Hmm, Mah ?"
"Iyah," Asta menutup tempat makanan Ghani.
"Kapan main lagi ? Ghani udah siap nih main ke Timezone."
Asta seolah sedang berpikir. "Adek selesai ospek, kita jalan. Gimana ?"
"Boleh." Lalu Asta memberikan kantong yang berisi tempat makan. "Menu apa lagi nih, kemarin ayam kecap."
"Mama bikinin makaroni keju dong." Ghani mengangguk antusias. "Itu minumnya air putih aja, biar sehat."
"Sip." Meraih tangan mamanya lalu mencium punggung tangan sang ibu. "Lho ? Ini tangan mama kok ada bekas infusan ? Mama sakit ?"
Asta menarik wajah Ghani, menciun kening lebih lama.
"Mama cuma kecapekan doang, usaha mama lagi laku keras. Banyak yang nikahan kayaknya, doain ya lancar."
"Mama jangan maksain cari uang buat Ghani." Lalu anak yang sudah abege itu, memeluk Asta dengan erat. "Kapan-kapan Ghani ikut ke tempat kerja mama."
"Wah boleh." Asta memasangkan helm. "Sana masuk, jangan lupa berdoa."
"Laksanakan." Asta melambaikan tangan kala Ghani memasuki gerbang. Senyumannya kian melebar mengingat selama ini ia kembali dengan aktivitasnya, masih bisa bertemu dengan Ghani. Kadang mereka komunikasi via telepon atau via video call. Dan untungnya Ghani bisa memahami keadaan.
Mobil berwarna hitam yang kini terparkir di seberang penjual bakso, menatap anak dan ibu yang terlihat bahagia. Lalu tatapannya mengalih ke arah Asta yang mengendari motor.
"Sejak kapan dia bisa pake motor ?" Adri masih setia duduk di kursi kemudi. Tadi, setelah mengantarkan Ghani, Adri seharusnya berangkat kerja. Namun, hari ini Adri harus rela telat karena demi melihat apa yang akan terjadi. Ternyata benar, Asta menemui anaknya, dan memberikan bekal. Pantas saja Ghani tidak mau membawa bekal bikinan ibu, bahkan sarapan saja kadang Ghani jarang. Dan terjawab sudah semuanya, bahwa Ghani seolah punya rumah untuk pulang, yaitu Asta.
Adri diam menghela nafas kala melihat Asta meninggalkan sekolah dengan kendaraannya. Ini di luar dugaan Adri, ia pikir Asta pasti akan datang lagi. Mengingat sifat Asta yang sejak dulu tidak pernah berubah. Sekarang, semuanya beda. Asta sudah menjadi perempuan dewasa, bukan lagi gadis berumur 18 tahun yang akan meminta apapun pada Adri. Besok Adri akan lebih dekat lagi mengintai Asta, agar Adri tau alasan Asta ingin kembali.
Adri segera melajukan mobilnya, mungkin akan lebih baik bekerja terlebih dahulu, dan nanti jemput Ghani sekolah. Toh Ghani sekolahnya pulang sore, jadi bisa sekalian.
Adri dilema, merasa ini bukan dirinya. Dulu, ia akan mengalah apapun yang Asta lakukan. Sekarang, ia sendiri yang menciptakan perpisahaan. Apa Adri salah jika ia masih kecewa dengan perginya Asta beberapa tahun lalu ? Salahkah jika suami yang merasakan sakit hati, kala istrinya tidak pulang-pulang !? Dan Adri merasakan itu kembali, di mana ia menjadi orang tua
Karena menurut satpam sekolah bahwa Ghani sudah di jemput neneknya, maka di sinilah Adri. Di tempat kerja Sofi yang membuat Adri kesal. Adiknya itu senang banget ada di dunia keramaian, dan pantas saja bisa cinlok dengan Rayi. Satu pekerjaan dan profesi. Adri berjalan di lorong rumah sakit, menuju ruangan Sofi. Berniat meminta maaf atas masalah sebulan yang lalu, di mana Adri juga memarahi Sofi, karena ikut campur dalam masalahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Istri
ChickLitPrasta Savira, datang secara tiba dan mengacaukan kehidupan Adrian. Apalagi sudah mantan suami. Ralat, mereka belum cerai di mata hukum Negara. Asta berjuang, demi anak dan suaminya. Asta minta kembali, namun Adrian menolaknya. Hingga ternyata Asta...