Sepuluh

12.2K 1K 80
                                    

Suasana jadi menegangkan, apalagi melihat Adri yang tengah asik ngobrol dengan lainnya. Asta, hanya jadi orang terbodoh. Dia melakukan kebodohan. Untuk apa datang ke acara yang Adri gelar ? Jelas-jelas akan menyakiti diri sendiri. Melihat Ghani akrab dengan keluarga Kesha, menimbulkan rasa tenang dalam diri Asta. Setidaknya, mereka bisa menerima sosok Ghani.

"Mbak, masih kuat ? Sofi nggak tega." Asta tersenyum, mengusap bahu Soffi.

"Santai. Kayak lagi nunggu nilai UTS aja."

"Jangan maksain."

"Oke. Karena aku paham, aku pulang." Sofi mengangguk antusias. Akan lebih baik Asta tidak di sini daripada Sofi harus melihat luka di mata Asta. Mereka berdua menuju parkiran, Asta bahkan tidak pamit pada anaknya. Ia sengaja ke sini karena tidak enak pada Adri yang sudah mengundang. Namun melihat keharmonisan hubungan Adri dan Kesha, apa harus ia menjadi manusia paling bodoh lagi. Ini bukan sinetron, yang rela di sakiti dan bertahan karena cinta.

"Maafin Sofi yang nggak bisa bantu mbak Asta."

"Sejauh ini kamu udah bantu aku. Jadi, terima kasih." Keadaan kembali hening. Kini mereka tengah di dalam mobil siap mengantar Asta. Ray, sebagai Dokter pribadi Asta, ia tidak bisa berbuat apapun. Meski ia adik ipar Adri, namun itu hal pribadi. Ketiganya diam, bahkan Sofi menitipkan anaknya pada sang ibu. Siapa yang menjamin jika Asta akan kembali mengamuk, terlebih ketika melihat Adri yang begitu bahagia saat bersama Kesha. Enatahlah, Sofi tidak tau pikiran Adri. Ia pikir, setelah mengetahui keadaan Asta, akan ada sedikit celah untuk Asta. Tapi, Sofi juga tidak bisa menyalahkan Adri, karena semua sudah takdir.

"Mau di antar ke mana mbak ?" Rey melirik ke arah Asta lewat kaca.

"Bandara." Sofi memejamkan matanya, menghela nafas berat. Ini sudah keputusan Asta, mereka tidak ada hak untuk melarang.

"Kebutuhan untuk di sana udah di siapkan ?"

"Aku pergi 3 hari doang Sof, lagian ini luar kota. Aku ke Lombok, bukan ke Paris." Asta terkekeh melihat Sofi merenggut kesal.

"Kan Sofi khawatir."

"Terharu." Lalu ketiganya tertawa bersama. "Dewi udah nunggu kok di Bandara. Semua kebutuhan udah di bawa Dewi." Sofi hanya mengangguk. Lalu dalam mobil kembali hening.

Suara dering ponsel Asta bergetar, menandakan ada panggilan yang sangat penting. Asta melirik sekilas, ketika melihat nama yang tertera, ia hanya menahan nafas sesak.

Jagoan calling...

Asta butuh sendiri, bukan menghindari diri. Ghani, biarkanlah anaknya kecewa kembali, nanti akan Asta jelaskan semua keadaannya. Keadaan dirinya dan keadaan hubungannya yang tidak bisa di pertahankan. Suara ponsel kembali terdengar, dan untungnya Asta tidak memberikan volume keras. Hanya nada getar saja. Ghani lagi. Anaknya pasti sedang kebingungan mencari Asta. Daripada Asta harus rela mendengar suara Ghani, yang pasti tidak akan sanggup pergi meninggalkan Ghani, meskipun hanya sekedar kerjaan. Dan akan Lebih baik memejamkan matanya.

"Bisa ?"


"Nggak."

"Coba lagi."

"Nggak."

"Ada masalah ?"

"Mungkin."

"Dek,"

"Ghani masuk ke kamar." Kekecewan terlihat jelas di wajah Ghani. Lagian Asta di mana coba ? Mengapa perempuan itu senang sekali menghilang. Adri mendesah keras, lalu menekan panggilan di ponselnya. Tidak tersambung. Adri yakin, tadi nyambung, bahkan pas Ghani menghubungi beberapa kali, masih nyambung. Kembali Adri coba menghubungi Asta, namun tetap sama. Tidak aktif lagi. Apa mungkin hapenya lowbet, tapi tidak mungkin. Terus, ke mana perempuan itu. Di kost, tidak ada. Selepas acara tadi, Adri melihat anaknya yang kebingungan. Ternyata, Asta yang menghilang. Dan mereka memutuskan ke tempat Asta, hasilnya nihil. Sekarang, nomornya bahkan tidak aktif.

Mantan IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang