7. Jauh Dari Yusuf

142 38 27
                                    

VOTE? COMMENT? OKAY?

.

.

.

Malam ini di meja kerjaku, aku dengan teh hangat tanpa segaris nikotin akan kembali menulis beberapa baris atau mungkin paragraf tentang masa remajaku bersamanya. Tanpa mengurangi rasa hormat pada siapapun yang terlibat di dalamnya. Langit sudah terlalu gelap, mengarungi setiap abjad yang menyatu menjadi sebuah kata. Mewakili sebuah perasaan yang aku sendiri sudah kehabisan kata-kata untuk menggambarkan betapa rindunya aku.

Aku menyukai apapun yang berkaitan dengannya. Seperti datang ke rumah dengan menggunakan baju dinas dan sepatu PDL. Memberi hormat padaku saat akan kembali pulang ke rumah dinasnya. Pamit padaku ketika tugas negara memanggilnya. Kembali dengan tubuh yang masih utuh dan sehat wal'afiat.

Jika kamu bersedia ikut serta dalam merasakan apa yang aku rasakan saat itu, tetap di sana sebagai penikmat tulisanku. Jika kamu merasa tulisanku ini sebuah hal yang cengeng, jangan dilanjutkan. Aku tidak suka memaksa.

Beberapa kalimat sudah ku siapkan untuk memulainya, memulai dengan mengingat beberapa kejadian kecil yang sangat berarti bagiku kala itu dan sampai saat ini. Aku masih ingat, dia datang ke rumahku saat matahari masih terik. Memakai pakaian dinas lengkap dengan topi baretnya, tapi tidak membawa senapan, dia membawa pot bunga kecil. Tapi saat itu Ayahku yang membukakan pintu untuknya, karena aku sendiri belum pulang sekolah. Malamnya Ayah menceritakan kembali padaku, tentang dia yang bertamu dengan pakaian seperti ingin berperang.

"Bawa pot bunga dia, Ayah kira mau apa. Katanya,sih, pot bunganya bisa ditanam bunga apa saja? Kecil memang, kalau gede-gede takut kamunya repot kata dia. Terus pamit, masih ada urusan yang belum diselesaikan. Ada-ada saja dia itu," aku tersenyum mendengarkan cerita Ayah, sembari memegangi pot bunga yang sedang kami bicarakan.

"Mau ke Aca, dia." Dari arah belakang Mama bicara, membuatku menoleh secara kilat ke arah sumber suara.

"Apaan, sih, Ma?"

"Iya, nanyain teteh terus kalau ketemu Ara di jalan," giliran Ara yang mengeluarkan suara.

Ayahku hanya tersenyum, "dia itu kalau nggak salah, yang punya IPB, kan?"

"Ha? Yang bener?" Ucapku refleks, saat Ayah mengatakan kalau dia itu pemilik IPB.

"Itu, loh, Institut Perikanan Bawah."

"Ha ha ha"

Mama tertawa mendengarnya, aku juga ingin tertawa, tapi kutahan. Biar aku tertawa di kamar saja, sembari membayangkan bagaimana dia datang ke rumahku tadi.

"Ganteng ya, dia. Siapa namanya?" Aku memutar bola mataku jengah, ganteng? Jangan, Ayah. Kali ini giliran anaknya.

"Yusuf, awalnya kata Mama namanya itu Darwin, eh, taunya bukan." Jelasku.

Setelah beberapa saat Ayah terdiam, akhirnya ia kembali mengeluarkan suaranya, "kamu suka?"

Eh? Ditanya seperti itu secara tiba-tiba membuatku tidak bisa berpikir dengan cepat, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah diam, memandang lurus ke arah televisi.

"Udah, masuk kamar sana. Ini udah malem, loh. Ara ke WC dulu, suka ngompol juga. Malu atuh, ih, udah gede masih ngompol," lama tidak memberi jawaban pada Ayah, akhirnya ia memilih untuk menyuruh kami tidur. Karena saat itu malam sudah semakin larut.

Sesudah membersihkan diri, aku memasuki kamarku dengan tersenyum. Hanya ada Yusuf, di dalam pikiranku. Sampai kantuk menjalar, dan akupun tertidur.

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang