3. Dia Darwin

251 55 20
                                    

VOTE? COMMENT? OKE?
.
.
.

Di sekolah seperti biasa aku berkumpul dengan teman-teman, menceritakan hal-hal yang tidak penting dan berujung dengan banyolan 'jadi pengen nikah'. Entah apa yang kami pikirkan saat itu, tapi itu semua hanya untuk sekedar bercandaan yang kelewatan. Tapi dengan itu, kami semua bahagia, walaupun sebagian besar dari kami adalah kaum jomblo akut. Bukan nggak laku atau nggak ada yang mau, mungkin hanya ingin sendiri untuk saat ini sudah cukup.

Sesekali kami membicarakan beberapa guru yang tidak kami sukai. Seperti misalnya memberi nama aneh pada guru-guru tertentu dan hanya kami yang tahu.

Sampai satu ingatan muncul dikepalaku begitu saja, tentang Ryan yang kata Ika meminta nomor ponselku lewat Melyan. Aku jadi penasaran, untuk apa dia menggunakan Melyan sebagai perantara? Bukankah itu tidak mencirikan seorang laki-laki yang gantleman? Kenapa tidak langsung saja bicara kepadaku? Padahal aku sama sekali tidak menggigit.

"Melyan, emang kata Ika, tentang si Ryan minta nomor gue, itu bener? Nggak bohong?"

Yang menjadi tersangka hanya diam dan menahan tawanya, "Iya. Tapi gue bilang, kalau lo lagi deket sama Agus. Nggak salah, kan?"

Aku hanya mengangguk, "Nggak salah, sih. Tapi, deket sama Agusnya itu, loh, yang salah."

"Kenapa? Memang lagi deket, kan?"

Aku diam, tidak menjawab. Jadi semuanya sudah menganggapku dekat dengan Agus. Kenyataanya memang seperti itu, bagaimanapun aku tidak bisa berkilah. Aku sudah sejauh ini, tapi kenapa aku merasa ada yang salah dengan semuanya. Mereka semua yang menganggap aku dekat dengan Agus, kenapa tidak mengerti sama sekali?

Awalnya saja sudah salah, jadi mereka yang mendengarnya, akan benar-benar mengatakan bahwa aku adalah seorang PHO. Terutama pacarnya Agus yang selalu menatapku dengan sinis, memberiku sindiran. Tapi saat itu terjadi, aku tidak diam dan malah kembali memberikannya tatapan sinis dan berkali-kali sindiran pedas keluar dari mulutku, seolah-olah itu semua adalah bentuk protes dari diriku.

Apapun itu, aku tidak ingin menyalahkan siapapun, apalagi dengan Agus yang selalu mengirimku pesan singkat setiap harinya. Jika dia menyalahkanku sepenuhnya, aku sangat tidak terima.

***

Sekolah sudah bubar sejak beberapa waktu yang lalu, dan sekarang aku sedang berada di rumah, tiduran sambil memainkan ponsel. Membuka beberapa akun sosial mediaku, mencari-cari informasi tentang kelanjutan drama korea yang ku tunggu-tunggu sejak seminggu yang lalu. Tapi suara Mama sangat mengganggu telingaku.

"Aca!" Aca itu nama panggilanku kalau di rumah. Ini berawal dari aku sendiri yang mengaku namanya Aca sejak masih kecil, jadi terbiasa sampai saat ini.

"Iya, Ma."

"Mama tau, Mama tau!" Ucapnya.

Aku hanya mengerutkan dahiku, "Tau apaan?"

"Namanya Darwin!" ucapnya antusias.

Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang Mama ucapkan padaku, "Siapa?"

"Itu, yang kemarin, dia tinggal di komplek Brimob sana."

"Terus?" kataku, bersikap tidak peduli.

"Udah, sih, gitu aja."

Aku menghela napasku, memutar bola mata dengan gusar. Kalau memang hanya itu, kenapa heboh sekali? Mau namanya Darwin, Vino, Dimas, toh, aku tidak akan peduli. Kalau nama dia adalah Aca, baru aku akan bertanya dan mungkin menertawakannya. Lagian siapa dia? Kenal saja tidak. Jika Mama mau, ya, ambil saja. Tapi ya sudah, terimakasih karena sudah memberi tahu, aku jadi tahu kalau dia namanya Darwin.

Masih sore, tidak hujan dan sunset belum memamerkan keindahannya. Aku lebih suka duduk di depan teras sambil melihat tetanggaku yang kebanyakan dari mereka adalah tetangga yang suka ikut campur urusan orang. Bukan aku ingin menjelek-jelekkan mereka, tapi memang itu nyatanya. Hingga satu suara mengusik telingaku dan terkejut kala melihat siapa dalang dari suara tadi.

"Hey!"

"Ya?" aku balik menyapanya, tapi bukan dengan kata 'Hey'. Kamu harus tahu, dia Darwin, yang tadi Mama bicarakan denganku. Setelah aku menjawabnya, ia berlalu begitu saja meninggalkan ekspresi bingung diwajahku.

"Apaan, sih?"

Saat itu dan detik itu juga aku berpikir bahwa dia merupakan salah satu laki-laki yang tidak jelas maunya. Jika hanya menyapa, untuk apa? Apa dia tidak mau tahu tentangku? Haruskah aku mengajarinya tentang keadilan? Aku sudah mengetahui namanya, apa dia tidak penasaran dengan namaku?

Persetan! Aku juga tidak mau tahu tentangnya, anggap saja bahwa saat ini aku tidak mengetahui namanya, dan perihal dia tidak ingin tahu namaku juga aku tidak peduli. Toh, itu bukan urusanku. Tapi jika esok kamu mau tahu tentangku, tak apa, akan kuceritakan tentangku hingga kamu mengerti.

Karena kukira sudah dimulai saat itu. Hari-hari di mana aku menyukai kedatangannya, di mana ia tersenyum padaku, menyapaku, dan semua hal yang berkaitan dengan aku dan dirinya. Tidak banyak mauku, hanya ingin mengobrol lebih lama, membicarakan hal yang tidak penting hingga ngalor ngidul. Bagiku itu semua sudah cukup, aku tidak ingin uangnya yang banyak kalau memang dia punya banyak, motornya yang bagus, atau mungkin profesinya sebagai Brigadir Mobil, berdua saja dengannya sampai senja tiba, atau mungkin jalan-jalan beli asinan di Bi Nyai. Tidak ada penolakan baginya dalam hal apapun , selama aku menyukainya itu tidak masalah.

Teh ku sudah dingin, malampun semakin larut. Aku ingin melanjutkan ceritaku, tapi kalau kau mau, aku tidak suka memaksa, karena itu bukan gayaku.

◙◙◙

Gimana? Kasih kritik, komentar, dan juga vote ya? Jangan jadi silent readers. Salam sayangggggg ya, mwhhhh

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang