17. Perpisahan yang Cukup Mengejutkan

97 6 0
                                    

"Aku di sini, masih di sini, nunggu hati yang entah ada dimana, bersama rindu dan hujan, serta sunyi yang terus mengelilingi."

.

.

.

Mari, kita lanjutkan ceritaku. Cerita masa remajaku yang masih labil.

.

.

.

Hari ini tubuhku gemetar, kukira aku rindu, ternyata karena perutku belum diberi amunisi untuk hari ini.

Ah, dalam keadaan seperti ini saja bisa-bisanya aku keingetan Yusuf. Padahal yang kubutuhkan adalah makan, bukan bertemu dengannya.

Memang kalau lapar, ketemu dia bakalan jadi kenyang? Itu hanya pikiranku saja yang kekanak-kanakan.

Oh, ayolah, dia juga pasti baik-baik di sana. Dia juga pasti dikasih makan. Pikirkan saja diri sendiri yang terkadang suka lupa minum kalau habis makan.

Tapi, tetap saja kepikiran terus.

Mau aku berkilah seperti apapun, mau hati dan mulut berdebat sehebat apapun, tetap saja rindu tidak mengenal batasan.

HP menyala, itu pertanda ada notif masuk. Kukira dari Yusuf, ternyata grup yang tidak penting-penting amat. Hampir saja HP-ku terjatuh, karena aku tadi menaruhnya dengan sembarangan.

"Cuma notif dari grup ternyata. Ah, paling cuma ngebahas tentang kapan reuni? Mau ikut nimbrung juga gimana? Suka dilewatkan begitu saja chatku." Kataku, bermonolog sendiri sembari menyiuk nasi dari dalam Rise Cooker.

HP-ku kembali menyala, ah, aku masih berpikir itu chat dari grup.

Sampai makanan dipiringku sudah sangat bersih, barulah aku mengambil HP yang berada diatas kasur. Enam belas panggilan tak terjawab, dan dua puluh tiga pesan baru, itu semua dari Yusuf.

Awalnya aku sangat senang, tapi beberapa saat kemudian ekspresiku berubah drastis. Kalau tahu akan begini, aku tidak ingin membuka pesan darinya.

Kau tahu, apa? Yusuf mengatakan bahwa ia ingin mengakhiri hubungan kami secara sepihak. Kau tahu apa alasannya? Ia mengatakan bahwa akan dikirim jauh dari diriku, jauh dari Jakarta, bahkan jauh dari Ibu Pertiwi.
Diakhir pesan, ia mengatakan bahwa akan kembali.

Aku sangat-sangat tidak peduli dengan jarak, aku hanya ingin kamu, itu saja. Apa sangat sulit? Hey, Yusuf, lihat aku, aku sudah belajar banyak dari prajurit yang mengatakan bahwa jangan pernah membenciku karena profesi.

Kau lupa akan hal itu? Kau lupa, Yusuf?

Bolehkah aku mengatakan bahwa kau brengsek? Bahwa kau seperti bajingan? Tapi kenapa hatiku sangat terpaut padamu?

Aku mencoba menelponnya, tapi nomor itu sudah tidak aktif lagi. Mengirim beberapa pesan singkat, mengirim beberapa chat Whatsapp, tapi tak kunjung centang dua biru.

Jujur, saat itu hatiku sangat tidak karuan, kacau. Satu yang bisa kulakukan saat itu hanyalah membaca story chat darinya.

Hari pertama putus, setiap apapun yang aku lakukan, selalu mengingatkan pada dirinya yang meninggalkanku begitu saja.

Hari kedua, masih sama.

Hingga hari-hari berikut yang sudah tanpa dirinya.

Segala aktivitas apapun aku lakukan demi untuk tidak mengingat tentang dirinya. Tapi sekeras apapun aku melupakan, kenangan punya cara tersendiri untuk menghilang.

"Semua butuh proses!"

Kata diriku sendiri sebagai dukungan. Seperti saat ini, di pinggir jalan raya Jakarta, diriku, bersama kenangan-kenangan yang bermunculan, tersenyum pada diri sendiri yang mengatakan bahwa aku tidak perlu melupakannya. Tetaplah di sana, bersama memori yang yang juga terjadi bersamaan kala itu.

Terima kasih untuk semua yang hadir dimasa remajaku. Terutama Mama, Bapak, keluargaku, serta Ika.

Maaf untuk Diki, karena aku telah mencampakkanmu dulu.

Terima kasih untuk Darwin, karena sudah mau-maunya menjadi tempat aku memata-matai dirinya.

Dan untuk Yusuf, aku sangat-sangat berterima kasih, karena kau telah ada dan hadir sebagai lelaki yang pernah dengan sangat aku cintai. Aku masih berpegang teguh pada janjimu yang akan kembali suatu saat nanti. Entah itu esok, lusa, atau takkan pernah.

Tapi aku di sini, masih dengan perasaan yang sama, menunggumu kembali sembari makan pisang.

.

.

.

Bye-bye!

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang