8. Pamit

125 37 39
                                    

VOTE? COMMENT? OKAY?

.

.

.

Hari itu aku masih ingat, aku sedang tertidur di ruang tamu dan masih memakai baju pramuka. Tertidur dengan pulas, membuatku tidak mendengar apapun. Sampai Mama membangunkanku.

"Ca! Bangun! Ada Yusuf," seketika itu juga mataku membulat sempurna.

Ha? Ada Yusuf?

"Yang bener?" Tanyaku, memastikan.

"Iya, di depan warung, tuh."

Aku langsung memasang ancang-ancang untuk menemuinya, meskipun dengan wajah bantal ini, aku tidak peduli.

Kulihat benar adanya, Mama tidak berbohong padaku. Dia ada di sana, sedang berkacak pinggang. Dia tersenyum, aku juga.

"Cieee..." Ucapnya, dan berhasil membuatku mengerutkan dahiku.

"Kenapa?"

"Yang suka rinduin saya," dia tertawa.

"Cieee..." Kali ini giliranku.

"Apa?"

"Yang mau ke saya," dia tertawa. Aku juga. Tidak peduli dengan Mama yang sedang mengintipku dari jendela rumah, tahulah aku juga.

"Yuk?"

"Kemana?" Tanyaku.

"Ke asrama, mau?"

"Mau ngapain?" Tanyaku, dengan sedikit nada heran.

"Biar kamu tahu keseharianku itu kayak gimana," jawabnya, pelan tapi sangat serius.

Aku menatapnya, "memang boleh?"

"Siapa yang melarang?"

Aku senyum, "bentar, ya? Aku ganti baju dulu."

"Jangan lupa cuci muka, cuci kaki, gosok gigi, keramas, yasinan tiga kali."

"Siap kapten!"

"Ha ha ha"

"Ha ha ha"

Dia tertawa, entah karena aku memanggilnya kapten atau memang sedang menertawakanku. Dengan segera aku mengganti pakaianku, memberi sedikit parfum di sana. Kukira sudah cukup, akupun kembali menemuinya.

"Mama mana?" Tanyanya.

"Mau ngapain?"

"Mau izin dulu," aku mengerti apa maksudnya.

"Udah, bawa aja. Nggak dibalikin lagi juga nggak apa-apa," ucap Mama dari dalam warung. Dia tertawa, tapi aku nggak.

"Ma, anaknya saya bawa dulu ya?"

"Iya," jawab Mama, sembari tersenyum padanya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Rumahku dengan perbatasan asramanya tidak terlalu jauh, pembatasnya hanya seperti tembok beton yang di tengahnya ada pintu gerbang warna hitam. Kadang kalau ada rumor tentang teroris atau semacamnya, gerbang kecil ini tidak akan dibuka. Tertutup rapat. Motorpun tidak bisa masuk, jadi yang ingin masuk ke kampungku menggunakan motor, motornya harus di parkir di luar gerbang.

"Naik motor?" Tanyaku.

"Waktu itu adikmu, sekarang giliran kamu," oke, Yusuf. Aku tidak akan menolaknya.

Dengan rasa bangga pada diriku sendiri yang ternyata dia mau ke aku, langsung saja aku menaiki motornya. Aku masih ingat sampai sekarang plat nomornya, hanya bagian belakang, sih, yang kuingat. Kalau tidak salah 'SAV'.

Bahkan sampai saat ini, jika aku melewati asrama tersebut kalau ingin pergi bekerja, aku selalu memperhatikan plat motor yang sedang terpakir di pinggir jalan. Hanya itu yang bisa kulakukan.

"Aku senang," tanpa pikir panjang aku berbicara seperti itu, semoga dia tidak mendengarnya.

"Alhamdulillah."

"Apa?"

"Kamu senang, kan?"

"Kamu dengar?"

"Iya, ha ha ha"

Aku yakin wajahku saat itu pasti berubah merah, "he he he"

"Eh, kamu suka berantem?"

"Nggak," jawabku, ketika tiba-tiba dia bertanya seperti itu.

"Aku kalau perang, berantemnya pake Bahasa Arab."

"Loh, kenapa? Emang bisa?"

"Bisalah, awalnya aku kira dia nggak ngerti waktu aku ngomong pake Bahasa Arab. Eh, dia malah lebih fasih. Aku baru sadar, kalau waktu itu lagi di Bahrein. Ha ha ha"

"Ha ha ha"

Motornya terus melaju, tidak ngebut, banyak yang berlalu lalang soalnya. Mobil-mobil berwarna hitam dan besar yang bertuliskan polisi, menambah gambar latar sore ini. Sampai kami tiba di sebuah lapangan besar.

"Ini namanya lapangan tembak," dia berucap terlebih dulu, "biasanya aku latihan tiga hari seminggu. Selasa, Kamis, dan Sabtu." Lanjutnya.

"Aku nggak nanya," ucapku spontan.

"Aku cuma kasih tahu, takutnya nanti kamu rindunya nggak jelas."

Aku hanya bisa mengerucutka bibirku, "iya."

Dia malah tertawa, suka sekali dia menertawaiku, "coba lagi?" Ucapnya.

"Lagi apa?"

"Bibirnya, kayak tadi."

"Ih, apaan, sih!"

"Ha ha ha"

"Nggak lucu!"

"Ngambek beneran, ha ha ha"

"Bodo," ucapku, tidak mau kalah.

"Katanya kalo ngambek itu nggak boleh lebih dari tiga hari. Soalnya kalau lebih dari tiga hari berarti empat hari."

"Apaan? Sehari aja belum."

Kekuranganku adalah tidak bisa marah padamu terlalu lama, Yusuf. Jadi kau jangan khawatir. Kami berdua menghabiskan waktu di lapangan tembak yang hijau ini, tertawa hingga pipiku tersa pegal. Aku senaaaang sekali, bisa mengobrol lebih lama seperti hari ini. Sampai dia berdiri, memakai perlengkapan perangnya dan menyuruhku untuk berdiri. Aku bingung, tapi aku menuruti apa yang dia mau.

"Lapor!" Dia berdiri tegak, memberiku hormat dan bersuara dengan lantang. Aku hanya menatapnya, tidak ingin berkata apapun.

"Hari ini, pukul delapan malam, hingga enam bulan yang akan datang, saya akan ditugaskan di Kepulauan Riau! Laporan selesai!"

Aku baru mengerti apa yang ia maksud. Kedua bibirku ingin mengeluarkan suara, tapi tidak bisa. Apakah ia akan pergi, lagi? Lebih lama dari sebelumnya?

"Jangan nangis, biar saya saja." Ucapannya membuat air mataku kembali mereda.

Tiba-tiba dia memelukku dengan sangat erat, mengusap kepalaku, tidak ada perlawanan dariku saat itu. Biar saja, aku menyukainya. Tolong jarum jam, jangan dulu bergerak walau hanya sedetik.

"Saya cinta sama kamu, saya nggak peduli kamu mau bilang apa. Tapi inilah diri saya, jangan membenci saya karena profesi saya yang seperti ini."

Mendengar ucapannya yang seperti itu membuat hatiku bergetar. Aku tidak berkata apa-apa, hanya menganggukan kepala yang bisa kulakukan. Aku merasa saat itu kami berdua seperti sudah berpacaran, tapi nyatanya belum.

"Kembalilah dengan selamat!"

Hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan padanya, dan aku tidak menerima sebuah penolakan. Hingga langit sudah berubah warna menjadi oranye, sebenarnya aku tidak mau melepaskan pelukan yang begitu erat, tapi siapa aku ini? Terimakasih, Yusuf. Bertugaslah, aku di sini akan selalu mendo'akanmu.

.

.

.

Gimana? Kasih kritik, komentar, dan juga vote ya? salam sayangggggg ya, mwhhhh  

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang