11. Kembalinya Yusuf

89 23 48
                                    

VOTE? COMMENT? OKAY?

.

.

.

2016.

Segalanya yang terjadi benar adanya, kalian hanya perlu menghargai.

.

.

.

Pernah mendengar quote yang mengatakan bahwa 'seperti ikhlas tanpa kata ikhlas, barangkali merindu tanpa kata rindu, akan menjadi rindu yang serindu-rindunya' itulah rinduku, tidak akan pernah habis, takkan pernah. Meskipun tuannya sedang berkelana, tapi rindunya masih sama. Tidak berkurang sedikitpun.

Waktu demi waktu yang kulewati, hanya diisi untuk bimbel. Karena aku tahu diri, sudah kelas 12, tidak ada kata untuk main-main. Tapi pikiranku tentang Yusuf, tidak dapat tertimbun oleh mata pelajaran apapun.

Kekuatannya lebih besar dari Hulk, kau tahu? Monster hijau yang menjijikan. Atau mungkin dapat juga seperti sihir dari Harry potter untuk mengalahkan Lord Voldemort, atau jangan-jangan seperti Gorilla di film Tarzan. Entahlah, yang jelas lebih kuat dari apapun.

Besok adalah kembalinya Yusuf, harusnya besok. Darwin saja sudah kembali lagi, karena tadi kulihat dia sudah kembali mengurus empangnya. Dia menyapaku, aku mengajaknya bicara. Dia mengatakan kalau di saung saja mengobrolnya. Oke, aku setuju!

"Yusuf, pulangnya besok, ya?" Aku memulai pembicaraan.

"Kau hitung?" Terdengar seperti orang seberang dia ini.

"Iya."

"Rajin sekali, ha ha ha"

"He he he"

"Tidak terlalu hapal saya itu, tapi tadi kulihat di rumahnya hanya ada temannya, yang paling penting dia pulang dengan selamat. Betul?"

Aku mengangguk sebagai jawaban, "Boleh saya tahu, kalau di rumah dinas itu dia kayak gimana?"

Darwin berdehem seperti berpikir, kulihat lama sekali, "Malulah saya."

"Kenapa malu?" Aku mengerutkan dahiku.

"Jangan tertawa, ya?"

"Oke."

"Tahu tidak?"

"Tidak," ucapku, mengikuti gaya bicara yang terdengar aneh ditelingaku. Sebelumnya dia tidak seperti ini.

"Heee, seriuslah." Ucapnya, memelaskan wajah.

Aku ingin tertawa, tapi kutahan, "iya-iya, nggak akan ketawa."

"Yusuf itu tinggal berdua, saya di kamar sebelahnya. Setiap malam atau sedang ada waktu kosong, saya suka main ke kamarnya. Kau tahu, ngapain?"

Aku mengelengkan kepalaku, "Enggak."

"Kami nonton, tapi setiap kami ajak, Yusuf nggak mau, katanya sudah bisa dia, jagolah nggak usah belajar. Dia bilang begitu, saya ketawa aja."

"Nonton apa emang?" Ucapku, penasaran.

"Nonton Spongebob," jawabnya, dengan nada sedikit tertawa.

"Oh, ya?"

"Ya, nggaklah!"

Setelah mengerti apa yang di maksud oleh Darwin, aku langsung memberinya tatapan sinis. Bagaimana mungkin dia mengajak Yusuf untuk menonton film dengan rating dewasa?

"Jangan ajak-ajak dia lagi!"

"Dia sudah jago, gitu?"

"Ih, bukan! Pokoknya jangan!"

"Ha ha ha"

"Awas, ya?" Kataku, dengan nada mengancam.

"Iya, ha ha ha"

"Mau jadi laki-laki seperti apa kau ini? Cepatlah menikah!" Ucapku, meledeknya.

Yang menjadi tersangka hanya tertawa, tapi setelah itu dia diam, "saya ini sudah dijodohkan dengan Mama, di kampung."

"Bagus, dong?"

"Bagus apanya?"

"Bisa cepet menikah?"

Dia tersenyum kecut, "dia tidak suka saya."

Aku menatap wajahnya, "nggak jelek-jelek amat, sih. Ha ha ha"

"Bukan saya, tapi kerjaan saya yang jadi Brimob. Dia nggak bisa ditinggal-tinggal, tapi bagaimana? Ini sudah menjadi tugas saya."

Mendengar Darwin bercerita seperti itu, kembali mengingatkanku dengan apa yang Yusuf katakan. Sama, jangan pernah membenci saya karena profesi.

Aku jadi bertanya-tanya, apa, ya? Yang dipikirkan oleh Yusuf saat ingin pamit padaku waktu itu? Apa, ya? Apakah sama dengan Darwin?

Jika memang begitu, tidak, aku tidak membencimu. Bahkan jika profesimu bukan Brimob. Tidak ada alasan untuk aku membencimu, Yusuf. Percayalah.

***

Setelah mengobrol lama dengan Darwin, membuatku banyak tahu tentang Yusuf. Katanya dia itu belum pernah berpacaran selama Darwin mengenalnya. Katanya dia itu kebanyakan makan mie, katanya dia itu suka mendengarkan lagu lewat headset.

Kau mau tahu apalagi? Katanya dia handal dalam melatukkan senapan. Katanya dia itu suka membicarakanku.

Tahu dia suka membicarakanku, aku senang. Setidaknya ada aku di waktu luangnya, meskipun tidak langsung.

Enam bulan yang lalu

Enam bulan yang sekarang

Enam bulan yang tidak sebentar

Selama satu semester sudah aku menunggumu. Banyak insiden yang terjadi. Tapi aku tidak berkutik pada hati yang berbeda. Masih sama.

Enam bulan sudah habis, terkikis oleh hari yang terus berjalan, terkikis oleh bumi yang terus berotasi. Aku menunggu kamu di sini, sebagai wanita yang sama, wanita yang kau peluk di lapangan tembak tapi dia diam saja.

Selamat malam, Yusuf. Aku mau tidur dulu, udah ngantuk. Aku sayang kamu, Yusuf.

***

Paginya aku masih ingat sekali, dengan Mama yang menyuruhku untuk membeli asinan di warung Bi Nyai, posisinya sekitar pukul sembilan. Memang kalau siang sedikit pasti ramai dan akan mengantri.

"Ca? Beli asinan di Bi Nyai, gih."

"Sekarang?" Aku balik bertanya, tapi tidak jadi kulanjutkan, karena Mama yang sudah memberiku tatapan menyeramkan. Oke, aku berangkat sekarang.

Tidak terlalu jauh, warung sederhana yang berada tepat di tikungan jalan sana. Berjalanalan kakipun bisa, kalau mau itu juga. Cukup banyak motor yang berlalu-lalang saat itu. Sampai satu suara menyapa telingaku.

"Hey!"

.

.

.

Gimana? Aku butuh sekali vote atau comment kalian yang baca. Please! Jangan jadi silent readers, okay? Salam sayang dari akuuuu, mwhhhh

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang