6. Yusuf, Bukan Darwin

157 43 32
                                    


Adikku yang bernama Zahra, sudah pulang dari sekolah agama. Aku kira dia kenapa karena tiba-tiba memanggilku dengan suara sangat keras.

"Tadi Ara ketemu sama Yusuf, yang suka lewat itu. Yang mau ke teteh."

Teteh itu panggilan kakak dalam Bahasa Sunda, Ayah yang mengajarinya. Aku tidak tahu harus berkata apa, aku hanya bisa mengerutkan dahiku. Menatapnya dengan malas. Yusuf mana, sih? Ada-ada saja dia itu.

"Nanyain teteh."

"Siapa, sih?" kataku, antusias.

"Itu yang kata Mama, namanya Darwin, padahal bukan."

Aku mulai mengerti arah pembicaraannya, "Tau dari mana?" tanyaku, seperti menyelidiki.

"Orang ada di bajunya," mungkin maksudnya adalah name-Tag.

"Iya? Yang bener? Katanya apa?" aku kembali bertanya, kali ini dengan sangat semangat, karena tahu yang menanyaiku adalah Darwin, maksudku Yusuf.

"Iya, namanya Yusuf apa gitu, sama temennya yang suka nyanyi itu, abis sholat di tempat Ara ngaji. Pegangin kepala Ara. Katanya gitu aja, nanyain teteh. Kemana aja? Nggak kelihatan."

"Terus, jawab apa?"

"Ada di rumah."

"Gitu aja?"

"Iya."

"Bilangin kapan main ke rumah, atau apa kek. Masa gitu aja?" kataku, sedikit tidak terima.

"Bilang sendirilah!"

Saat itu aku senang tahu dia masih ingat denganku, sedangkan aku terlalu sibuk dengan kisahku bersama yang lain. Kisah-kisah yang terlalu banyak membuang waktuku. Maaf Yusuf, kau boleh marah jika tahu, tapi jangan menjauh dan meninggalkanku seperti yang sudah-sudah.

***

Sejak hari Sabtu kemarin, aku tidak bertemu dengannya hingga hari Senin ini. Saat sudah sampai di rumah, Ara kembali bercerita tentang dirinya yang bertemu Yusuf saat pulang sekolah dan naik motor berdua dengan Yusuf.

"Yang bener? Naik motor berduaan?" tanyaku.

"Iya, dia yang ngajakin bareng."

"Ih, enak banget. Terus apa lagi?"

"Gitu aja."

"Kok, gitu terus?"

"Tau, ah. Ara capek baru pulang."

Enak banget jadi Ara, sudah pernah naik motor bareng dia. Aku, kapan? Kamu mau mengajakku, Yusuf? Naik motor denganmu? Iya Yusuf, aku mau sekali, bertemu denganmu.

***

Malamnya sebelum tidur, segala pikiranku tentang dia, kembali terputar. Seperti kaset rusak, hanya bagian dia menyapaku, tersenyum padaku, menatapku, terus seperti itu berkali-kali.

Jika kau masih mau denganku, datanglah, temui aku. Buat aku jatuh dan cinta berkali-kali kepadamu. Jika terluka, tak apa, aku sudah terbiasa dengan hal macam itu.

Yusuf, jangan buat aku seperti orang bodoh yang gelisah karena merindukanmu. Yusuf, jangan jadikan aku orang yang cengeng. Yusuf, Yusuf, Yusuf, aku rindu.

***

Matahari bersinar sangat terik, seperti sedang mengejekku. Sudah seminggu lamanya aku sama sekali belum bertemu atau bertatap muka dengannya. Meskipun begitu, aku selalu berharap saat ini dia masih bisa bernapas. Aku juga tidak memiliki nomor atau sosmed yang ia miliki, aku terlalu bisu untuk sekedar mengungkapkan, dan terlalu gengsi. Aku tidak berharap dia merindukanku atau apalah itu, aku hanya ingin bertemu, Yusuf.

"Assalamualaikum."

Ucapan salam itu mengetuk daun telingaku, segala pikiranku tentang Yusuf mengalir begitu saja. Aku terlalu penasaran untuk sekedar tahu siapa yang bertamu kerumahku, padahal aku ini bukan orang penting. Aku simpan pikiranku tentang Yusuf, tetap di sana ya, di dalam pikiranku.

"Waalaikumsalam."

Aku terkejut bukan main kala pintu rumahku sudah terbuka lebar dan menampakkan lelaki yang berpakaian seperti ingin berperang. Kau tau yang datang kerumahku itu siapa? Bukan polisi, aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Dia adalah Yusuf! Dengan senapan yang menggelayut dilengan kirinya sembari tersenyum kepadaku. Ah, kukira dunia sedang berbaik hati padaku hari ini.

"Kok," refleks kata itu terucap begitu saja dari mulutku.

"Kok, kenapa?" ucapnya masih dengan tersenyum.

"Cari siapa?" tanyaku, agar terlihat seperti tidak mengharapkan kedatangannya.

"Cari kakaknya Ara, yang suka rinduin saya."

Kok, tahu?

Kalian tahu apa yang aku rasakan kala itu? Senang, senang sekali. Sampai kedua mataku mulai berkaca-kaca. Memang berlebihan, tapi cobalah jadi aku sebelum kalian mengatakan bahwa diriku ini alay atau lebay.

"Siapa?" tanyaku, agar tidak terlihat gugup di depannya.

"Saya juga nggak tau namanya siapa," ucapnya sembari memberikan tangan kanannya hanya untuk berjabatan. "Yusuf Marendra Topano. Dari Pontianak, lahirnya pukul tiga sore." lanjutnya.

Akupun mengikuti caranya berkenalan, walau aku sendiri sudah mengetahui namanya siapa, "Ashaa, yang suka digosipin katanya rindu terus." ucapku, berterus terang.

"Ha ha ha"

Eh, dia ketawa.

Aku tidak berniat membuatnya tertawa, tapi kalau dia senang dengan caraku berbicara atau membuat candaan, ah, itusih anugerah bagiku sekaligus ujian. Aku melihat sekeliling rumahku dan menemukan beberapa orang yang berpakaian seperti Yusuf. Sudah seperti buronan aku ini.

"Bawa kawan?"

"Oh, yang di sana?" ucapnya, meyakinkan.

"Iya."

"Habis pulang dari Lombok, tugas di sana," jelasnya.

Aku hanya menganggukan kepalaku sembari ber-oh ria, "Terus mau ngapain lagi?"

"Mau cari kakaknya Ara. Kan, udah ketemu, nih. Tadinya mau di ajak ke rumah, tapi masih belum halal."

"Maksudnya, saya haram, gitu?"

"Iya, harus di ijab dulu biar halal."

Aku ingin tertawa, tapi tidak jadi, aku tahan saja. Aku hanya ingin tahu sampai dimana ia bisa membuatku berhenti untuk menahan tawa, "iya?" akhirnya hanya kata itu yang aku ucapkan.

"Saya kesini Cuma mau pastiin, kalau kamu masih berjalan dengan dua kaki, serta sehat wal'afiat. Kemarin saya ada tugas di Lombok, jadi nggak sempat buat lewat depan rumahmu. Saya langsung, ya? Assalammualaikum."

"Waalaikumsalam."

Udah, nih? Gitu aja? Berat rasanya hanya untuk sekedar mengucapkan salam. Seperti ingin berlama-lama dengannya. Tapi untuk hari ini cukup sampai di sini, sisanya untuk hari-hari selanjutnya. Hati-hati di jalan Yusuf, juga teman-temannya. Terimakasih sudah mau-maunya mampir ke rumahku walau tidak disuruh masuk tadi karena akunya kelupaan.

Aku tidak sabar untuk menunggu hari esok, apa lagi ya? Apa kamu akan membawa pasukan perangmu lagi, atau mungkin kamu membawa granat ke rumahku? Atau jangan-jangan kamu membawa penghulu ke rumahku? Aku menunggu itu semua, Yusuf. Semua hal yang berkaitan denganmu itu membuatku senang.

◙◙◙

Gimana? Kasih kritik, komentar, dan juga vote ya? Jangan jadi silent readers. Salam sayangggggg ya, mwhhhh  

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang