4. Agus Kunyuk

203 50 30
                                    


Dibagian ini semuanya akan merajuk pada judul, semua hal berawal dari dia, Agus. Laki-laki dengan dua kaki dan tangan, mata dan hidung, telinga dan mulut, serta anggota tubuh lainnya yang sangat saya hormati. Sebenarnya aku sangat malas hanya untuk sekedar menyebutkan namanya, tapi bagaimana? Nanti dia jadi protes karena tidak ada dalam ceritaku.

Seperti biasa pulang sekolah aku segera mengecek semua akun media sosialku, terutama Twitter. Agus sudah mem-follow Twitterku dan menjadi teman chating di sana, meskipun kerap kali dia mengirimku pesan SMS.

Makin kesini hubunganku dengannya makin merenggang, itu memang hal yang aku harapkan. Kadang kala Agus meng-upload foto kekasihnya, Dedetia. Karena mungkin dia berpikir hanya dengan itu adalah caranya agar aku mengambil langkah mundur terlebih dalu. Maaf, tanpa kau berulahpun aku bisa melangkah mundur.

Itu semua menyadarkanku bahwa dia bukan lelaki yang pantas bersamaku. Hal itu karena beberapa mention Twitter yang ia kirim kepadaku. Jelas, mention bersifat publik dibandingkan jika ia mengirimku melalui DM yang hanya aku saja yang dapat melihatnya.

Di sana dia berkata, "Apa Ashaa, nyindir-nyindir gue gitu? Ciee kesel ya, gue lebih milih Tia daripada lo. Iya dong, Tia lebih terbaik dari lo."

Saat dia berkata seperti itu, jujur saat itu juga aku ingin berteriak ditelinganya dan berkata 'jelek aja banyak tingkah!'.

Aku merasa heran pada dirinya yang seolah-olah memberitahuku tentang sifat aslinya yang seperti banci. Maaf, bukan maksudku mengatainya, tapi ini semua sudah terjawab oleh beberapa kalimat yang ia lontarkan padaku secara tidak langsung.

Harusnya ia mengerti kalau sikapnya yang seperti ini malah akan membuatku ingin tertawa. Aku seperti menyesal saat itu pernah dekat dengan dirinya, dengan lelaki biasa saja tapi banyak tingkah. Tidak lama kemudian, hasratku sangat kuat untuk mengetik beberapa kata untuknya.

"Lucu ih dengernya, lo, kan, cowok? Beraninya di Twitter, sih. Banci bukan! Gue juga udah punya Ivan."

Bagitu kataku. Jika aku kembali membacanya, ingin sekali aku menertawai diriku sendiri dan mengatakan 'oh, dulu gue galak ya? Emosian juga'. Perlu kalian tahu, Ivan yang kumaksud adalah pacar baruku. Aku bukan playgirl, hanya berada dalam masa labil yang tidak bisa menetap pada satu pilihan.

Kalian juga pasti pernah mengalami apa yang aku alami kala itu. Putus cinta, cari yang baru.

Tidak lama kemudian, Agus membalasnya.

"Ha ha ha... gue nggak takut. Gue Cuma ngehargai Pak Kohar aja, karena lo saudaranya. Cieee... punya Ivan, tapi Ivan bonceng mantannya mulu, cieee..."

Menurutku bagian di atas adalah yang paling klimaks, bagian yang paling ingin membuatku tertawa terbahak-bahak. Terutama saat ia mengatakan bahwa dirinya tidak takut, padahal aku sama sekali tidak merasa mengancamnya atau ingin membunuhnya.

Kalau dibagian masih sering boncengan dengan mantannya, kenapa? Bukankah aku sendiri pernah dibonceng sama kamu, Agus? Lupa, ya? Jika Ivan begitu, mungkin saja ia ingin membantu atau sekedar menjadi ojek online saja. Itu tidak masalah bagiku.

Jika kamu berpikir aku akan cemburu atau putus dengannya, kamu salah besar, gus. Sadarlah, yang harus kamu lakukan saat ini adalah intropeksi dengan keadaanmu sekarang. Aku kembali membalas mention darinya.

"Ha ha ha... ngehargain? Cieee... suka perhatiin pacar gue, cieee... kayak lo nggak gitu aja, ya?"

Pak Kohar itu adalah wali kelas sekaligus pamanku yang sangat aku hormati, dia juga mengajar di tempat aku sekolah. Tidak lama kemudian teman-temanku ikut terlibat dalam percakapan ini. Dia Moni dan Ayu, dua-duanya cukup handal dalam hal seperti ini. Saat itu aku berpikir bahwa aku sedang berusaha dilindungin oleh mereka. Moni berkata,

"Udah, ca. Sikat miring kecup manis iris tipis si mayat biar skakmat."

Aku mengerti dengan apa yang Moni ucapkan, kukira dia sedang membicarakan pacarnya Agus yang putih pucat. Tidak tanggung-tanggung, bukan?

"Ha ha ha... udah. Biarkan dia berkarya dengan pilihannya yang katanya terbaik!" kataku, dengan menekankan kata 'terbaik' di sana.

"Ha ha ha... lagian juga kalau emang cowok, ngomong langsung. Jangan di dunia maya, emangnya banci kali, ah!" kali ini giliran Moni yang menekankan kata 'banci'.

"Kita, kan, orang berpendidikan jaga bicara ya, yang penting kita tau siapa yang mulai, norak." kali ini giliran Ayu yang mengeluarkan suaranya, Agus sama sekali tidak membalas. Tapi tidak lama kemudian ia muncul kembali dan mengataiku anak kecil.

Terserah kau mau bicara apa, aku tidak akan menggubris. Pemenangnya adalah aku dengan disponsori oleh teman-temanku. Bye, Agus. Sampai jumpa lagi. Semoga aku ini adalah wanita terakhir yang kamu ajak berantem via Twitter ya, besok-besok via Instagram aja biar lebih terdengar hakiki. Harus kau ketahui, bahwa kau punya kelebihan tersendiri, kelebihan menghargai tapi tidak menghargai. Coba kembangi, siapa tahu jadi bakat.

◙◙◙

Gimana? Kasih kritik, komentar, dan juga vote ya? Jangan jadi silent readers. Salam sayangggggg ya, mwhhhh  

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang