12. Hari-Hari dengan Yusuf

98 23 39
                                    

VOTE? COMMENT? OKAY?

.

.

.

2016

Segalanya yang terjadi benar adanya, kalian hanya perlu menghargai.

.

.

.

"Hey!"

Refleks aku langsung memutar bola mataku, aku mengernyitkan dahiku, menatapnya lekat-lekat, berharap mengenali siapa seseorang yang menyapaku barusan. Tapi ternyata aku benar-benar tidak mengenalinya.

"Aca, bukan?"

Kalimat pertanyaan yang menurutku lebih masuk dalam jenis kalimat mengancam. Dia tahu namaku? Tapi aku masih terdiam, belum bicara sepatah katapun.

"Iya, siapa, ya?" Akhirnya satu baris kalimat lolos begitu saja dari bibirku.

"Saya Faisal, teman Yusuf," laki-laki itu menyodorkan lengannya hanya untuk berkenalan denganku. Aku menerima jabatan tangannya dan bertanya 'tahu dari mana?'

"Itu," dia menunjuk dengan menggunakan dagunya.

Aku mengikuti arah yang dia maksud, aku tidak bisa mengelak, laki-laki yang sedang berkendara di ujung sana dan berjalan mendekat ke arah kami, dia adalah Yusuf! Dengan wajahnya yang terlihat lebih segar, tersenyum begitu manis kepadaku. Kedua sorot mataku telah hanyut dalam senyumannya, terhipnotis beberapa saat.

Gila! Aku mati kutu saat itu, maksudku, ini pertemuan yang tidak direncanakan sebelumnya. Tidak bisakah dia meng-SMS ku terlebih dahulu? Oh, iya. Aku baru ingat bahwa kami sama sekali belum bertukar nomor ponsel. Aneh, bukan?

"Kok, diam? Mukaku tambah ganteng?" Suara itu kembali membuatku tersadar, dia sudah berada tepat di depanku.

Aku menghela napas sebelum mengeluarka suara, "apa? Memangnya selama tugas, dibolehin ke salon, gitu?"

Dia tertawa, "kamu cantik."

"Iya, kamu juga," kataku, tersenyum kepadanya.

"Masa aku cantik?"

"Iya, ha ha ha"

"Tuh, kan. Tahu gitu, saya tadi nggak ikut kamu, Suf." Yusuf tertawa mendengar temannya bicara seperti itu, aku juga, tapi tidak jadi tertawa saat Yusuf malah menatapku seperti itu. Aku ingin pulang saja, saat kedua bola matanya tidak sengaja bertemu dengan kedua bola mataku.

Pagi itu terasa sangat nyata, dengan kedatangannya yang secara tiba-tiba. Masih pukul sembilan, Yusuf. Hari-hariku masih panjang untuk berduaan denganmu. Faisal jangan ikut, nanti jadi bertiga dan bukan berdua lagi.

***

Dua kantong plastik bertuliskan thank you yang berisi asinan sudah berada di lenganku. Yusuf ikut denganku, katanya rindu Mama. Dia bilang harus rindu Mama dulu, baru aku. Mungkin itu salah satu caranya agar bisa mengambil hati Mamaku.

Dia juga sudah pamit kepada Faisal. Kata Yusuf, Faisal itu teman satu kamarnya. Mendengar dia bicara seperti itu, aku langsung ingat dengan perkataan yang diucapkan oleh Darwin padaku kemarin.

"Kamu suka nonton, ya?" Kataku, menyelidiki.

"Ya suka, lah." Ucapnya, berkata seperti tidak merasa bersalah.

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang