13. Berpacaran dengan Yusuf

92 23 31
                                    


Vote?

Comment?

Okay?

.
.
.

Kemarin pagi, aku sudah resmi menjadi kekasihnya. Aduh, senang sekali. Meskipun tidak seromantis film atau cerita lain yang kalian tahu. Tapi sebagai seorang wanita dan laki-laki yang sama-sama dimaui, justru itu tidak masalah bagiku. Akhirnya aku tahu, siapa aku sekarang untuknya? Dengan begitu tidak ada lagi batasan untuk aku yang selalu mencemaskannya jika jauh, jika rindu, toh aku ini sudah menjadi pacarnya. Untuk kamu wanita atau laki-laki yang ingin mengganggu, tolong mengertilah, akupun ingin bernapas sama seperti kalian.

‌Yusuf juga sudah mengatakan kepada Mama, bahwa kita berdua sudah berpacaran. Sebagai orang tua semua keputusan ada pada anaknya, dan disisi lain Mama sudah mengenal Yusuf. Iya, yang awalnya dikira Darwin padahal bukan. Kalau Bapak, dia mengatakan bahwa 'jika laki-laki itu baik untukmu, tidak masalah. Asalkan jangan menyakiti apa yang sedari dulu Bapak perjuangkan untuk membahagiakannya'.

Yusuf bilang dia ingin ke rumah hari ini, tanpa dia meminta izinpun aku tidak akan pernah keberatan. Di waktu ketika aku sedang asik menunggunya, pintu rumahku seperti ada yang mengetuk. Ah, ini Yusuf, pasti. Dengan semangat aku langsung membukakan pintu untuknya.

Tebakanku memang tidak pernah meleset. Sebenarnya aku cukup melongo saat melihat dia di depan pintu rumahku. Dengan pakaian olahraga, sepatu sport, serta tubuhnya yang banjir oleh keringat. Dia semakin terlihat, tampan? Ah, kalau memang dia seperti itu, mungkin adalah anugerah. Aku sampai lupa untuk mengizinkannya masuk. Ah, Aca.

"Mau minum apa?"

"Wine, kalau nggak koktail," ucapnya setelah duduk di kursi.

"Oh, suka mabuk? Belajar nakal dari siapa?" Ucapan itu keluar begitu saja dari bibirku.

"Tapi aku nggak bikin perempuan teriak ah uh ah uh sebelum halal," seperti petir yang menyambar otakku. Ingin sekali aku melemparkan bantal kursi padanya.

"Apaan, sih? Tapi kamu suka minum?"

"Nggak, lah. Kan, aku suka razia tempatnya. Masa aku ikutan juga?"

"Yaudah bentar, ya? Aku mau ambil minumnya dulu," ucapku, sembari berjalan ke arah dapur.

"Jangan lama-lama, aku suka rindu."

"Iya," padahal yang suka rindu itu aku, loh. Kamu lupa, ya?

Seperti apa yang ia katakan, jangan lama-lama, nanti rindu. Dengan sedikit gerakan cepat, dua cangkir teh manis sudah berada di atas nampan.

"Kamu jago bikin teh manis, ya?" Katanya, setelah meneguk isi cangkir dilengannya.

"Kenapa, emang? Kemanisan?"

"Nggak, kok. Manisnya pas, airnya pas, tehnya juga pas. Pas banget buat jadi istriku."

Saat itu juga aku langsung mengacak-acak rambutnya dengan asal sembari tertawa. Aku berhenti ketika dia meringis kesakitan saat tidak sengaja lenganku mengenai kulit leher belakangnya.

"Kenapa?"

"Biasa, jagoan."

"Aku mau lihat," aku sedikit khawatir saat itu.

"Nggak boleh lihat-lihat, belum muhrim."

"Cepat!" Kataku dengan sedikit membentaknya.

"Bicaranya kenapa jadi kayak aku?" Ucapnya, kembali mengalihkan pembicaraan.

"Cepat!" Aku mengulangi pertanyaanku.

Kemudian dia berbalik, saat itu aku dapat melihat memar yang ada pada kulit leher belakangnya. Aku menghela napasku, berjalan ke arah kotak P3K, berharap menemukan sesuatu yang bisa menyembuhkan luka memarnya. Aku teringat sesuatu saat Bapak memiliki luka memar seperti itu, dia mengompres lukanya dengan es batu lalu dioleskannya sedikit salep pada luka tersebut. Dengan gerakan cepat aku langsung melakukan apa yang pernah Bapak lakukan.

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang