9. Setelah Pamit

140 24 40
                                    


VOTE? COMMENT? OKAY?

.

.

.

Hari-hari selanjutnya, tidak ada lagi Yusuf. Tidak ada lagi laki-laki yang datang ke rumahku dengan menggunakan pakaian perang. Semua yang berkaitan dengannya kurasa libur dulu sejak hari itu. Aku harus menjadi wanita yang tidak mementingkan egonya sendiri.

Semuanya pasti pernah merasakan perasaan rindu, bukan Cuma aku saja. Jadi tolong, Aca, kamu harus mengerti. Ini adalah tugas, dan diapun sudah pamit terlebih dulu, tidak meninggalkanmu begitu saja.

Oke.

Kamu juga belum bahkan bukan pacarnya, jadi, jangan terlalu berlebihan.

Sip.

Tidak ada yang istimewa setelah dia pamit, apalagi dengan Darwin yang juga pergi bertugas tapi beda wilayah. Hari-hariku terasa lebih membosankan.

Tiba-tiba pintu rumahku terbuka, memperlihatkan Ika yang sedang mengucapkan salam.

"Waalaikumsalam," aku menjawabnya.

"Main atuh wa, di rumah aja." Aku hanya tersenyum.

"Sengaja, biar lo yang ke rumah gue."

"Ha ha ha, waduk." Waduk itu apa, ya, artinya? Tapi kalau kata Ika sendiri, waduk itu bohong.

"Ngomong naon, sih?" (Bicara apa, sih?) Bahasa Sundaku mulai terdengar.

Aku pergi ke dapur hanya untuk mengambilkan minuman untuk Ika. Setelah satu gelas air putih dan camilan sudah berda di tanganku, aku melihat Ika sedang mengutak-atik koleksi DVD Koreaku. Air putih saja buat diamah, nggak usah ngerepotin, ya, Ka?

"Eh, Ca? Tau gak, drama yang baru? Kissnya banyak banget!" Suuut! Ika memang seperti itu.

"Yang mana?" Aku pura-pura tidak tahu.

"Itu, yang pemainnnya siapa ya? Gue lupa, euy! Pokoknya banyak banget anjir!" Anjir itu plesetan dari kata anjing, sudah biasa akumah dengar dia bicara seperti itu.

"Ha ha ha"

Aku hanya tertawa mendengarnya. Setelah Ika selesai melihat-lihat drama milikku, dia bercerita tentang saudaranya yang bernama Diki. Ika bilang, kalau Diki mau ke aku. Kalau itu aku sudah tahu sejak lama.

"Iya, dia bilang ke gue, kalau dia suka sama lo."

Entahlah, aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Apa aku cerita saja, tentang Yusuf? Agar Ika mengerti, dan tidak membuatku melukai perasaan orang lagi.

"Gue, lagi nunggu orang." Sebaris kalimat sudah kuucapkan, dan aku yakin bahwa Ika mendengar ucapanku tadi.

"Oh, ya? Siapa? Lo, kok, nggak pernah cerita?"

"Ada, namanya Yusuf," aku kembali berucap. Kali ini Ika diam, mendengarkan aku bercerita.

"Dia itu laki-laki yang aku hormati apapun kekurangannya. Laki-laki yang datang padaku tanpa membawa sebuket bunga, hanya potnya saja. Laki-laki yang kedatangannya ke rumahku selalu membuatku senang. Laki-laki yang," aku tidak melanjutkan ceritaku.

"Gue, ngerti. Jangan dilanjutin. Kalau emang lo nggak ada rasa sama Diki, yaudah. Gue, paham. Cinta emang nggak pernah bisa dipaksa," mendengar Ika bicara seperti itu, membuatku sedikit tenang. Dia memintaku untuk bercerita tentang Yusuf, tapi tidak pakai air mata katanya. Oke, tanpa kau suruhpun, aku akan tetap bercerita.

Hanya RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang