Part 1

4.7K 338 5
                                    

Aku tertegun saat melihat sebuah telaga berair jernih di hadapanku. Rumput yang terasa basah menjadi alas dudukku. Aku terkejut saat melihat seorang anak laki-laki yang sedari tadi duduk di sampingku. Mata merahnya menatapku. Bibir mungilnya perlahan bergerak, namun tak ada suara yang bisa aku dengar dari bocah itu. Suasananya sangat hening dan tenang. Angin berhembus cukup kencang. Cukup untuk membuat rambut perak bocah laki-laki itu menari. Bibir bocah itu masih terus bergerak. Ekspresi wajahnya terlihat begitu cerah. Bocah itu bicara, seperti sedang bercerita sesuatu yang sangat menarik. Sayangnya aku tidak bisa mendengar suaranya. Tatapanku beralih pada air telaga saat bocah berambut perak itu menunjuk ke arah telaga.

Bocah itu tiba-tiba berdiri, berlari ke tepi telaga. Dia melompat-lompat sambil menunjuk ke bawah. Dengan rasa penasaran aku mendekat. Melihat ke arah yang ditunjukan dan menemukan diriku di sana. Itu adalah pantulan diriku sendiri. Layaknya sebuah cermin, aku sedang bercermin di permukaan air yang tenang. Aku melihat ... seorang bocah berusia delapan tahun yang menatap datar.

Tiba-tiba air dalam telaga itu bergelombang. Membuatku sedikit terkejut saat menatap air yang mulai kembali tenang. Bayangan bocah itu menghilang, berganti dengan seseorang yang lebih dewasa. Bayangan itu masihlah orang yang sama. Benar, itu adalah aku. Permukaan air kembali bergelombang. Aku tersentak mundur saat tiba-tiba air di telaga itu berubah menjadi merah.

Aroma darah menyeruak. Mataku melebar saat melihat sekelilingku. Rumput yang kupijak tak lagi hijau. Semuanya merah seperti baru tersiram darah. Aku menatap sekitar dengan panik. Bocah berambut perak itu sudah menghilang, lalu telaganya ... telaganya berubah. Tubuhku mematung dan napasku terhenti saat melihat air telaga yang berganti dengan tumpukan daging para serigala.

"Menyedihkan, bukan?" Aku tersentak dan segera berbalik. Seorang pria dewasa berambut perak terlihat menghampiriku. Wajahnya penuh darah dan tubuhnya penuh luka. Tubuhku bergetar melihatnya. Pria itu menyeringai, melihat ketakutan dalam mataku.

"Alpha." Sebuah seringaian tercetak di bibir pria itu. Mata merahnya menatap tajam ke arahku. Tatapannya membunuhku. Membuatku tak mampu bernapas ataupun bergerak.

"Alpha!"

Aku tersentak saat suara yang yang sangat familiar itu memanggilku. Entah sejak kapan aku tertidur dan saat terbangun aku melihat raut cemas dari Mark, Betaku sekaligus sahabatku.

"Maaf, aku ketiduran." Aku segera memperbaiki posisi dudukku. Memperhatikan sekitar kereta kuda yang saat ini kami tumpangi. Kami masih dalam perjalanan pulang kembali ke pack.

"Apakah ada masalah? Akhir-akhir ini kau terlihat cukup kacau," tanya Mark yang terlihat khawatir. Aku hanya tersenyum, merasa beruntung memiliki sahabat yang perhatian seperti Mark.

"Kau bermimpi buruk lagi?" tanya Mark membuatku mengingat mimpi yang baru kualami. Itu bukan mimpiku yang pertama. Mimpi itu menghantuiku. Mimpi yang sama dan terus berulang.

"Benar. Kau tahu, sampai saat ini aku masih meragukan takdir dewi bulan." Kutatap langit-langit yang tertutup ranting dari pohon yang menjulang tinggi. Tanganku mengusap keringat dingin yang mengalir dari dahiku.

"Apa ini tentang Matemu?"

"Ya. Sampai saat ini aku masih belum menemukannya. Aku jadi berpikir mungkin ini salah satu cara Dewi menghukumku. Mungkin Dewi tak akan mempertemukanku dengan Mateku." Aku berkata dengan tatapan setengah kosong. Pikiranku kembali pada perkataan pria yang sering hadir dalam mimpi burukku. Bahwa aku terkutuk, dan sekarang aku juga sedang dikutuk.

Sebuah tepukan keras dari Mark membuatku sedikit tersentak. Kulihat pria itu tampak tak suka dengan apa yang baru saja kukatakan. Aku hanya tersenyum miris menanggapinya. Aku tau Mark hanya ingin menghiburku. Tapi, apa yang dikatakannya memang benar, aku merasa sangat kacau akhir-akhir ini.

My Luna [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang